Sabtu, 09 Oktober 2010

Menimbang doa


Bertahun-tahun silam, tak lama setelah perang dunia I , ada sebuah pedagang makanan yang mencoba menimbang sebuah doa.

Pada hari Minggu sebelum Natal, ada seorang wanita yang datang ke tokonya dan meminta bahan makanan agar dapat memasak makanan bagi anak-anaknya pada malam Natal.

Si pemilik toko bertanya kepadanya berapa banyak uang yang dimilikinya.Wanita itu menjawab, "Suamiku tewas dalam perang, saya tidak punya apa-apa untuk diberikan kecuali doa."

Si pedagang bahan makanan menjawab dengan ketus, " Tuliskan doa itu. " dan melanjutkan urusannya.Yang membuatnya terkejut, wanita tersebut mengeluarkan secarik kertas dari dompetnya dan menyodorkannya kepadanya.

" Aku melakukannya kemarin malam seraya menjaga bayiku yang sakit. " kata wanita tersebut.

Si pedagang dengan kasar mengambil kertas tersebut dan menaruhnya di sisi pemberat timbangan kunonya.Ia berkata, " Aku akan memberimu bahan pangan seberat bobot doa ini."

Betapa terperajatnya dia, tatkala ia menaruh sepotong roti di sisi lain dari timbangan tersebut, timbangan itu tidak bergerak sedikitpun.Tercengang, ia menambahkan sebongkah keju, lalu seekor kalkun, namun timbangan itu tetap sama tak bergeming.

Akhirnya karena ia sudah menaruh begitu banyak bahan pangan ke timbangan tersebut, timbangan tersebut sudah tidak dapat memuat apa-apa lagi.

Ia menyodorkan sebuah kantong kepada wanita itu dan berkata. " Anda harus memasukkannya sendiri ke dalam kantong itu."

Barulah setelah wanita itu pergi dengan air mata sukacita mengalir di wajahnya, ia mendapati bahwa timbangannya rusak tepat di saat dia menaruh kertas doa wanita tersebut di situ.

Untuk pertamakalinya ia menunduk untuk membaca apa yang di tulis wanita tersebut : " TOLONG TUHAN. BERIKAN KAMI PADA HARI INI MAKANAN KAMI YANG SECUKUPNYA."

kEKUATAN DOA SANGGUP UNTUK MELAKUKAN SESUATU YANG LUAR BIASA DAN MENGERJAKAN PERKARA-PERKARA YANG MUSTAHIL.

JANGAN PERNAH MENYERAH DALAM PERGUMULANMU KARENA MUJIZAT PASTI SEGERA DATANG.

Sent by Doa Jala.

Hadiah dari Wendy


Anak perempuan ini berumur enam tahun ketika saya pertama kali menemuinya di tepi pantai dekat tempat tinggal saya. Pantai ini berjarak sekitar empat mil dari rumah saya. Dia sedang membuat sesuatu seperti istana pasir dan kemudian melihat saya, matanya biru seperti laut."Hai", katanya. Saya menjawab acuh tak acuh, hati saya sedang tidak enak dan tidak mau diganggu oleh seorang anak kecil."Aku sedang membangun," katanya."Saya tahu. Apa itu ?" saya bertanya sekedarnya, tidak peduli."Oh, tidak tahu, aku cuma senang main pasir." Kelihatannya baik, saya berpikir, kemudian melepaskan sepatu saya. Seekor burung laut terbang melintas."Itu kebahagiaan" katanya."Itu apa?" tanya saya."Itu kebahagiaan. Mama berkata burung laut membawa kebahagiaan untuk kita" katanya dengan mata berbinar menatap burung laut yang terbang menjauhi pantai."Selamat tinggal kebahagiaan," saya bergumam kepada diri sendiri, "Halo kepedihan," dansaya berbalik untuk meneruskan perjalanan.

Saya sedang depresi, hidup saya kelihatannya benar-benar kacau dan berantakan."Siapa namamu?" anak itu tidak menyerah sambil dengan langkah kecil mengikuti saya."Robert," saya menjawab. "Saya Robert Peterson.""Namaku Wendy, aku berumur enam tahun," sahutnya sambil menatapku dengan mata birunya. Mata itu begitu bulat dan indah."Hai, Wendy" sapaku dengan agak tertegun melihatnya... Gadis kecil ini begitu mempesona..Dia tertawa geli. "Kamu lucu," katanya. Dengan mengabaikan perasaan saya, saya ikut tertawa dan kemudian berjalan pergi. Irama tertawa geli anak itu mengikuti saya."Datang lagi ya, Pak Peter" dia memanggil. "Kita masih punya hari menyenangkan yang lain."

Hari dan minggu-minggu berikutnya bukan milik saya: sekelompok anak yang tidak dapat diatur, pertemuan orang-tua dan guru, ibu yang sakit. Matahari bersinar cerah ketika suatu pagi saya sedang mencuci tangan."Saya butuh burung laut", saya berkata kepada diri sendiri, sambil mengambil jaket.Suasana pantai sedang menunggu. Angin terasa dingin, tapi saya terus melanjutkan, mencoba untuk memperoleh kedamaian yang saya butuhkan. Saya sudah melupakan anak kecil itu dan terkejut ketika menjumpai dia."Halo pak Peter," dia berkata."Mau main ?" tanyanya lagi."Kamu mau main apa sih ?" saya berkata dengan sedikit terganggu."Aku tidak tahu? Terserah." sahutnya."Bagaimana kalau kita main pura-pura?" saya bertanya dengan kasar. Suara tertawa terdengar lagi."Aku tak tahu apa itu." katanya."Kalau begitu kita jalan saja." Sambil memandangnya, saya mengenali wajah lembutnya yang tulus."Kamu tinggal dimana?" saya bertanya."Di sana." Dia menunjuk ke barisan cottage untuk musim panas di depan. Aneh, saya berpikir, ini musim dingin."Kamu sekolah dimana?" tanya saya semakin penasaran."Aku tidak sekolah. Mama bilang kita sedang liburan" sahutnya dengan senyum manis.

Dia berceloteh seperti layaknya seorang anak perempuan kecil sepanjang perjalanan menyusuri pantai, tapi saya sedang memikirkan hal yang lain. Wendy berkata bahwa ia menikmati hari menyenangkan. Aneh, sekarang saya merasa lebih baik, saya tersenyum padanya dan menyetujuinya.Tiga minggu berikut, saya terburu-buru pergi ke pantai dalam keadaan yang boleh dibilang panik. Saya sama sekali sedang tidak 'in the mood' sekalipun hanya untuk memberi salam kepada Wendy.

"Lihat, kalau kamu tidak berkeberatan," saya berkata dengan gusar ketika Wendy menangkap tangan saya, "Saya ingin sendirian hari ini." Dia kelihatannya lebih pucat dari biasanya dan tampak kelelahan."Kenapa ?" dia bertanya. Saya berbalik kepadanya dan berteriak, "Karena ibu saya meninggal !!!" dan saya tersentak sendiri, ya Tuhan, kenapa saya berkata seperti ini kepada seorang anak kecil ?"Oh," dia berkata perlahan, "Kalau begitu ini hari buruk.""Ya," kata saya, "Dan kemarin dan kemarin lagi dan, ah ... semuanya sudah berlalu!" kelu saya."Apa kamu sedih?" anak ini terus bertanya."Sedih?" saya kecewa terhadapnya dan terhadap diri saya sendiri."Kapan dia meninggal ?" tanya Wendy."Tentu saja itu menyedihkan !!!!" saya berseru, salah mengerti, perasaan saya campur aduk dalam diri saya. Saya pergi meninggalkannya begitu saja.

Satu bulan setelah itu, ketika saya datang lagi ke pantai itu, Wendy, anak perempuan kecil itu tidak ada di sana. Dengan merasa bersalah, malu dan harus mengakui bahwa sebenarnya saya kehilangan dia, saya pergi ke cottage. Setelah berjalan beberapa saat saya tiba di sana dan mengetuk pintu. Seorang wanita muda yang menarik perhatian dengan rambut berwarna kuning-madu membuka pintu.

"Halo," saya berkata. "Saya Robert Peterson. Saya kehilangan anak perempuan kecilmu dan ingin tahu dimana dia sekarang.""Oh ya, Pak Peterson, silahkan masuk. Wendy banyak bercerita tentang dirimu. Saya khawatir kalau saya telah membiarkannya mengganggumu. Kalau dia telah mengganggu, terimalah permohonan maaf saya.""Tidak juga - dia anak yang menyenangkan," saya berkata, tiba-tiba saya menyadari bahwa benarlah demikian adanya. Wendy gadis kecil yang menyenangkan."Dimana dia?" tanya saya setelah menyadari ketidak beradaan Wendy."Wendy meninggal minggu lalu, Pak Peterson. Dia menderita leukemia. Mungkin dia belum memberitahu anda." Seperti dipukul, saya segera mencari pegangan pada kursi. Napas saya seperti berhenti, jantung saya serasa berhenti berdetak."Dia suka sekali pantai ini; maka ketika dia meminta untuk datang ke tempat ini, kami tidak dapat menolaknya. Dia kelihatannya menjadi lebih baik disini dan mempunyai banyak hari yang disebutnya sebagai hari menyenangkan. Tetapi minggu-minggu terakhir, kondisinya menurun dengan cepat?" suaranya wanita muda itu melemah,"Dia meninggalkan sesuatu untukmu. Kalau saja saya dapat menemukannya. Dapatkah anda menunggu sebentar sementara saya mencari?". Saya mengangguk, pikiran saya bekerja keras mencari sesuatu, apa saja, untuk diucapkan kepada wanita muda terkasih ini.

Dia memberikan saya sebuah amplop agak kotor, dengan tulisan tebal Pak Peter, tulisan anak-anak. Didalamnya ada sebuah gambar dibuat dari krayon cerah - gambar satu pantai bewarna kuning, laut biru, dan seekor burung coklat. Dibawahnya tertulis dengan rapi : BURUNG LAUT MEMBAWA KEBAHAGIAAN UNTUK KAMU. Mata saya terasa basah, dan satu bagian hati yang hampir terlupakan selama ini terbuka lebar untuk mengasihi. Saya menggenggam tengan ibu Wendy.

"Saya sangat menyesal, saya menyesal, saya menyesal, " saya menggumamkannya berkali-kali dan kami menangis bersama. Gambar kecil yang sangat berharga itu sekarang diberi bingkai dan digantung di kamar belajar saya. Enam kata - satu untuk setiap tahun kehidupannya - telah berbicara kepada saya tentang harmoni, kekuatan, kasih yang tidak menuntut. Hadiah dari seorang anak kecil dengan mata biru dan rambut pasir telah mengajar saya arti pemberian kasih.

LORD JESUS, bless you and me, now and forever.

By: Robert Petterson 
ditulis ulang oleh Lisa F.

Arsitek Mozaik kehidupan


Seorang arsitek memesan lembaran cermin besar untuk ia pasang pada dinding istana kerajaan Teheran, Iran.

Hanya sayang, pesanan itu datang didapati bahwa cermin itu sudah pecah dan hancur, mungkin karena perjalanan yang cukup jauh.

Sang kontraktor mengusulkan untuk membuangnya dan memesan kembali.

Herannya, sang arsitek justru meminta kepingan cermin itu dikumpulkan lalu dihancurkan lagi menjadi kepingan-kepingan yang lebih kecil lalu mulai disusunlah satu persatu.

Di tangan arsitek itu, pecahan-pecahan cermin kecil itu menjadi karya mosaik yang terindah di dunia.

Dihancurkan untuk menjadi lebih indah!

Kira-kira seperti itulah pujian raja Teheran kepada sang arsitek.

Sebuah keputusan yang tidak masuk akal dilakukan sang arsitek, namun hasil yang ia dapatkan membuat dunia mengagumi karyanya.

Bagi kita, hidup adalah suatu tantangan yang harus dihadapi.

Ada kalanya kita terjatuh, terpuruk, bahkan lembaran hidup dan jati diri kita terkadang hancur berkeping-keping.

Tentu ini membuat hidup terasa semakin berat.

Rasa putus asa seakan menjadi teman akrab yang selalu berkunjung seiring masalah hadir. Lalu dimanakah Tuhan saat kita sedang hancur berkeping-keping?

Kita juga kadang-kadang meragukan keberadaan Tuhan ketika harus bergumul dengan masalah.

Apalagi ketika kegagalan terjadi.

Apalagi ketika hal yang buruk terjadi dan meninggalkan trauma tersendiri.

Pengkhianatan. Luka hati yang semakin mengoyak. Itu tak jauh beda dengan cermin yang hancur berkeping-keping.

Namun bersyukur karena Tuhan adalah arsitek yang luar biasa.

Ia mengambil kepingan demi kepingan hidup kita.

Dari yang tak berarti dibuatnya menjadi berarti.

Dari yang rusak menjadi sesuatu yang indah.

Luka hati disembuhkan.

Bayang-bayang masa lalu yang menakutkan diganti menjadi masa depan yang penuh harapan.

Pemulihan terjadi.

Karya indah terjadi di dalam hidup kita. Semuanya itu dikerjakan oleh Tuhan, Sang Arsitek kehidupan!

Di tangan Sang Arsitek Kehidupan, hidup yang hancur berkeping-keping bisa diubah menjadi karya yang indah.


Sent by Yohana lina susanti.

Iman Maria


Maria kecil yang berusia sepuluh tahun tinggal di sebuah desa pinggiran kota di Chili tengah. Ketika ibunya menginggal, Maria menjadi ibu rumah tangga, merawat ayahnya yang bekerja giliran malam di sebuah pertambangan lokal. Maria memasak, membersihkan rumah, dan memastikan bahwa makanan ayahnya sudah siap saat ia meninggalkan rumah untuk bekerja setiap malam.

Maria mengasihi ayahnya dan khawatir melihat betapa ia menjadi begitu sedih sejak kematian ibunya. Maria pergi ke gereja setiap m,inggu dan merusaha mengajak ayahnya untuk pergi bersamanya, tetapi ia menolak. Hatinya terlalu kosong.

Suatu malam, sementara Maria menyiapkan makanan untuk ayahnya, ia menyelipkan sebuah Injil kecil ke kotak makanannya. Ia mendapat Injil kecil itu dari seorang pekerja misionari yang membagikannya dari rumah ke rumah di daerah mereka. Maria berdoa agar ayahnya membacanya dan memperoleh penghiburan seperti yang telah Maria temukan dalam kasih Allah yang besar.

Pada pukul 01.10 pagi Maria tiba-tiba terbangun karena suara yang mengerikan, peluit darurat di pertambangan itu meraung dalam kegelapan, memanggil para penduduk kota untuk segera datang dengan cangkul dan tangan yang siap untuk membantu menggali para penambang yang terjebak di gua bawah tanah.

Maria berlari ke tambang untuk mencari ayahnya. Beberapa orang dengan panik menggali reruntuhan terowongan yang ambruk dan mengurung delapan orang. Salah satunya adalah ayah Maria.

Para petugas darurat bekerja sepanjang malam dan akhirnya berhasil menembus sebuah gua kecil dimana mereka menemukan para penambang itu. Sungguh sayang, mereka sudah terlambat. Ke delapan pria itu telah meninggal karena tidak bisa bernafas.

Para petugas penyelamat itu sangat menyesal, tetapi saat mereka mengamati keadaan, mereka melihat bahwa para penambang itu meninggal dalam posisi duduk membentuk lingkaran. Saat para petugas melihat lebih dekat, mereka menemukan bahwa ayah Maria duduk dengan sebuah Injil kecil di pangkuannya yang terbuka pada halamam terakhir di mana rencana keselamatan dijelaskan secara gamblang. Pada halaman itu, ayah Maria menuliskan sebuah pesan khusus untuk putrinya:

"Maria yang terkasih, saat kau baca pesan ini, Ayah sudah berada bersama ibumu di surga. Ayah membaca buku kecil ini, kemudian membacakannya beberapa kali kepada orang-orang ini sementara kami menunggu diselamatkan. Harapan kami akan hidup ini memudar, tetapi tidak demikian dengan hidup yang akan datang. Kami melakukan apa yang diajarkan dalam buku ini dan berdoa, meminta Yesus masuk ke dalam hati kami. Ayah sangat menyayangimu, Maria, dan suatu hari kelak, kita semua akan bersama-sama di surga.

From Book, "Heart for a friend", Dick eastman.

Semut dan Softlens


Brenda adalah seorang gadis muda yang diajak mendaki tebing oleh teman-temannya. Walau sebenarnya ia takut melakukannya, ia memutuskan untuk tetap pergi bersama mereka mendaki sebuah tebing granit yang curam.

Di luar rasa takutnya itu, ia memasang perlengkapannya, berpegang pada tambang dan kemudian memulai pendakian. Akhirnya ia sampai pada suatu pijakan di mana ia bisa menarik nafas sejenak. Tetapi di saat ia tengah berhenti, secara tidak sengaja matanya terbentur tali pengaman yang terikat di tubuhnya sehingga membuat soft-lensnya terlepas. Ia tengah di suatu pijakan tebing yang berada ratusan meter di atas tanah dan ratusan meter pula tebing di atasnya yang masih harus didaki.

Ia melihat dan melihat sekelilingnya, sambil berharap dapat menemukan soft-lensnya yg terlepas itu, tapi ternyata ia tdk dapat menemukannya. Ia berada jauh dari rumah dan penglihatannya sekarang buram. Ia putus asa dan mulai merasa gelisah, kemudian ia mulai berdoa kapada Tuhan agar menolongnya menemukan soft-lens itu.

Ketika ia sampai di puncak tebing, temannya membantu mencari dengan memeriksa bajunya dengan harapan dapat menemukannya, tetapi soft-lens itu tetap tidak dapat ditemukan. Ia duduk dgn perasaan yang hilang pengharapan, beristirahat dengan sebagian rombongan sambil menunggu rombongan lainnya.

Sambil termenung, Brenda melihat gunung-gunung di sekitarnya, tiba-tiba teringat olehnya sepotong bagian dari ayat Alkitab yang tertulis, "mata Tuhan menjelajah seluruh bumi" (II Tawarikh 16:9). Ia kemudian berdoa di dalam hatinya, "Tuhan, Engkau dapat melihat semua gunung-gunung. Engkau juga mengetahui setiap daun dan batu yang ada di gunung ini, dan Engkaupun tahu dengan pasti di mana soft-lensku berada. Ya Tuhan, tolonglah aku."

Akhirnya mereka turun ke bawah melalui jalan yang kecil. Sesampainya di bawah, mereka bertemu dengan rombongan lain yang baru mau memulai pendakian. Tiba-tiba seorang dari mereka berteriak, "Halo teman, adakah di antara kalian yang kehilangan soft-lens?"

Tentu saja hal ini cukup mengejutkan, tetapi tahukah anda bagaimana pendaki itu menemukannya?

Pendaki itu melihat seekor semut kecil sedang bergerak secara perlahan di permukaan tebing sambil membawa sebuah soft-lens.

Ketika bercerita kepada ayahnya mengenai kejadian luar biasa tentang seekor semut, doa dan soft-lensnya yang hilang, ayahnya kemudian menggambar sebuah kartun tentang seekor semut memikul sebuah soft-lens dengan tulisan : "Tuhan, aku tidak tahu mengapa Engkau menginginkan aku untuk membawa benda ini. Saya tidak dapat memakannnya dan benda ini sangatlah berat. Tetapi bila itu memang kehendakMu, aku akan membawakannya untukMu."

Tuhan Yesus telah merendahkan diriNya dan rela menderita menanggung semua beban dosa kita. Biarlah kita juga belajar merendahkan diri, sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa dan satu tujuan.

Adakalanya dalam keadaan yang sukar, kita dapat belajar untuk berseru, "Tuhan, saya tidak mengerti mengapa Engkau menginginkan saya memikul beban ini. Saya tidak melihat ada hal yang berguna di dalamnya dan beban ini sangatlah berat. Tetapi kalau ini adalah kehendakMu, saya akan melakukannya."

Janganlah meminta pelayanan sesuai kekuatan kita, tetapi mintalah kekuatan sesuai dengan pelayanan kita.

"Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." Filipil 4:13.

Sent by Hizkia J.

Rabu, 06 Oktober 2010

Mujizat itu nyata ( Kesaksian Pdt. Gilbert Lumoindong )



Bocah lelaki itu terpekur. Dokter baru saja memberi vonis yang mengejutkan, secara berangsur-angsur kemampuan otaknya akan menurun dan tingkat intelegensinya akan berkurang demikian drastis bagaikan penderita down syndrome. Ia divonis menderita penyakit syaraf otak. Maka ia pun tak kuasa membendung airmatanya setiap melintasi sekolah yang diperuntukkan untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus, yang letaknya dekat dengan rumahnya di wilayah Tebet, Jakarta. "Ah Tuhan, apakah kelak saya akan berada ditempat itu?, " keluh anak lelaki yang bernama lengkap Gilbert Emanuel Lumoindong itu. Bertepatan dengan penyakit saraf otak yang diderita Gilbert, kedua orang tuanya mulai rutin menyambangi Persekutuan Doa (PD) yang dipimpin oleh mendiang Ibu Ev. Slamet dan Bapak Ev. Murti yang berada di dekat tempat tinggal mereka. Saat itu hamba Tuhan dari Belanda tengah berkunjung untuk melayani di tempat itu. Gilbert pun tak ketinggalan menghadiri ibadah Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) dan iapun turut maju saat hamba Tuhan memanggil jemaat yang ingin di doakan. Dengan iman kanak-kanak yang dimilikinya, Gilbert menyakini bahwa saat itu juga ia sudah sembuh. Maka tanpa tedeng aling-aling, setiba di rumah iapun membuang pelbagai obat yang selama ini dikonsumsinya. Ya, Gilbert tak hanya mengalami kesembuhan, kemampuan otaknya pun mengalami peningkatan hingga ia selalu mendapat predikat juara kelas bahkan lulus dari SMA dengan nilai terbaik. Menjelang tidur, usai mengalami kesembuhan Ilahi, terlintas pikiran dibenak Gilbert yang kala itu masih berusia 10 tahun: Secara manusia saya ini sudah tidak layak, karena menderita penyakit syaraf otak, Tapi karena Tuhan sudah menyembuhhkan, maka hidup saya ini milik Tuhan. Apapun yang Tuhan ingin saya perbuat, saya bersedia. Maka meski masih duduk di bangku SD, Gilbert kecil tak segan-segan mendatangi persekutuan yang diperuntukkan untuk orang dewasa, ketimbang mengikuti ibadah sekolah minggu. Waktu itu di sekolah minggu kisah yang diajarkan kebanyakan cerita dongeng, kenang Gilbert. Sementara saya ingin mendengarkan firman. Memasuki bangku SMP , ia mulai melayani di gereja, saat duduk di bangku SMA ia terlibat dalam pengurusan Rohani Kristen di sekolah. Di sekolah itu pula, SMA Negeri 3 Setia budi, Jakarta. Gilbert bertemu denga npujaan hati: Reinda Lumoindong. Suatu ketika, saat persekutuan di sekolah ,lantaran absennya pembicara. Gilbert pun diminta untuk membawakan khotbah. Suatu kebetulan bagi manusia tetapi tentunya tidak kebetulan bagi Tuhan, karena ia baru saja menyelesaikan pelatihan School of Ministry milik Morris Cerullo dan sebelumnya pernah mengikuti kursus Alkitab di GBI Mawar Saron. Tak disangka, inilah awal perjalanan seorang Gilbert Lumoindong sebagai seorang hamba Tuhan yang dipakai Tuhan secara luar biasa. Setelah itu Gilbert pun diminta untuk melayani sebagai pembicara di berbagai sekolah di Jakarta. Setelah lulus dari SMA, pria kelahiran 26 Desember 1966 itu pun kian memantapkan panggilannya sebagai hamba Tuhan dimana ia menimba ilmu di Institut Theologia dan Keguruan Indonesia (ITKI) Petamburan, Jakarta. Nama Gilbert Lumoindong mulai dikenal saat ia bergabung pelayanan Gospel Overseas (GO) Studio dan menjadi host siaran penyegaran rohani Kristen Protestan di RCTI tahun 1991. Tak dipungkiri, karena seringnya muncul di layar televisi, pamornyapun kian meningkat. Apalagi, ia juga sering mendapat permintaan untuk menjadi pembicara di berbagai KKR dan acara-acara rohani lainnya. Melalui GL Ministry yang resmi berdiri pada tahun1998, pelayannnya semakin berkembang bahkan hingga ke mancanegara. Namun beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 2002, Tuhan mulai meletakkan visi yang baru, yakni hati sebagai gembala. "Awalnya saya mengira bahwa itu hanya suara hati bahkan suara iblis. Karena saya yakin bahwa pada waktu itu panggilan saya adalah penginjil dan bukan gembala, papar Gilbert seraya menambahkan, bahwa walaupun ia mencoba dengan berbagai cara untuk mengenyahkan pikiran tersebut ternyata suara itu semakin kuat. "Akhirnya Gilbert "menyerah" dan mulai merintis sebagai gembala jemaat pada tahun 2007. Diakui Gilbert, saat ia memutuskan untuk menjadi gembala, ada banyak suara miring disekitarnya lantaran ia pernah berucap bahwa ia tak pernah menjadi seorang pemimpin jemaat. "Saya lebih baik salah terhadap diri sendiri, daripada salah terhadapTuhan, " tegas Gilbert yang tidak peduli dengan cacian "menjilat ludah sendiri "yang ditujukan kepadanya, asal untuk kemuliaan nama Tuhan. Kini di bawah penggembalaannya, Tuhan mempercayakan ayah dari Garren, Chella dan Evan Lumoindong ini untuk memimpin hingga saat ini sekitar 8000 jemaat yang tergabung dalam GBI Glow Fellowship Centre dengan visi  " Menegakkan Kerajaan Allah Dalam Kebenaran dan Kasih".



Sumber,  Pdt. Gilbert Lumoindong

Ditulis ulang oleh Blessing Family Center.

S'mua baik ( Story behind the song )





"Dari semula, t'lah Kau tetapkan..hidupku dalam tanganMu, dalam rencanaMu Tuhan..Rencana indah t'lah Kau siapkan..bagi masa depanku yang penuh harapan..."



"S'mua baik.....s'mua baik...apa yang t'lah Kau perbuat di dalam hidupku..S'mua baik....sungguh teramat baik..Kau jadikan hidupku berarti"



Sebagai seorang songwriter lagu Kristiani, saya memberi nilai sangat tinggi untuk lagu ini. Bagi saya pribadi, lagu "Semua Baik" ini levelnya sama dengan lagu "Amazing Grace" (John Newton), "Still" (Reuben Morgan/Hillsong), lagu yang so simple tapi membawa kepada dimensi hubungan yang sangat teramat dekat dengan Tuhan. Bagi saya lagu "Semua Baik" adalah lagu yang tak akan lekang oleh waktu. Dengan kata lain lagu yang tidak mengenal season. Generasi demi generasi akan mengucap syukur kepada Tuhan melalui lagu ini. Sing that God is good all the time.Apakah dalam hidup ini jarum jam sedang berada di angka 12 (di atas), atau sedang berada di angka 6 (di bawah), GOD IS GOOD.Tuhan tidak pernah merancangkan kecelakaan dalam hidup kita.



Kuasa pengucapan syukur melalui lagu ini sangat luar biasa.Adalah mudah mengatakan 'semua baik' saat semua keadaan kita baik, tapi bagaimana saat mengalami yang tidak baik? Pasti tidak mudah mengatakannya. Tapi justru di saat itulah kekuatan yang dari Allah tercurah, memberi kita kemampuan untuk menjalani hidup ini, dan kelak, waktulah yang akan membuktikan bahwa 'benar...benar...Ia merancangkan damai sejahtera atas kita'.



Teman sepelayanan saya mengalaminya.Bermula dari kesuksesan yang luar biasa dalam bisnis fashion retailnya. Toko-toko fashion lain di sekitarnya saat itu sangat iri melihat kesuksesan teman saya, sehingga banyak yang datang ke tokonya, pura-pura menjadi pembeli, hanya untuk melihat 'apa sih rahasianya, kok lebih rame dari yang lain ?'. Tapi kemudian, segala sesuatu tidak berjalan seperti yang direncanakan. Dagangannya mulai seret pembeli, begitu drastis terjadinya, sehingga teman saya ini benar-benar tidak siap menghadapinya. Singkat cerita tokonya pun harus ditutup, dan menyisakan begitu banyak hutang, dan stock yang menumpuk dan tidak tahu harus dijual kemana.Segala upaya dicoba, memberi discount, sale besar-besaran, dan berusaha menjual ke daerah-daerah lain, tapi tetap saja gagal.Dalam kegalauan hati, teman saya mencari Tuhan, tersungkur dalam doa-doanya. Mengapa Tuhan? Mengapa Tuhan? Teman saya bersaksi, tiba-tiba dalam kedukaannya ia digerakkan untuk menyanyikan "s'mua baik, smua baik apa yang t'lah Kau perbuat di dalam hidupku...". Airmata mengalir deras dan ia berserah kepada Tuhan, bahkan mengucap syukur atas segala yang tidak enak yang dialaminya.Tahun demi tahun yang berat berlalu, dan sekarang sebagai sahabatnya saya mau bersaksi kepada teman-teman. Tuhan tidak pernah meninggalkannya, dan Tuhan tidak pernah merancangkan kecelakaan kepadanya. Sekarang teman saya beralih profesi menjadi seorang desainer interior yang lagi sibuk menerima job order. Teman saya ini sampai kewalahan mengerjakan dan menerima berkat dari Tuhan.Semua baik, semua baik.





Siapa di balik penciptaan lagu ini?Siapa orang yang luar biasa yang menciptakan lagu ini?Lagu "Semua Baik" diciptakan oleh Budi Haryanto dan Tommy 'One Way' Widodo. Nama yang terakhir mungkin teman-teman familiar yah, karena Tommy adalah personel dari group band Kristen terkenal 'One Way'.Tapi siapakah Budi Haryanto?Budi sudah pulang ke Rumah Bapa, sehingga saya menggalinya darico-partnernya, Tommy, dan juga dari istri Alm. Budi, yaitu Yani.Tulisan ini tidak menyertakan foto Tommy, karena Tommy lebih menonjolkan sisi Budi dalam penciptaan lagu ini.(Yang penasaran bisa lihat wajah Tommy di album One Way).



Tommy menuturkan :"Kisah dibalik terciptanya lagu ini terjadi sekitar 18 tahun yang lalu.Bermula dari persahabatan saya dan Budi.Waktu itu kita sama-sama belajar musik di gereja dan mulai belajar melayani.Budi adalah anak pertama dari 5 bersaudara dari sebuah keluarga yang sangat sederhana. Hobinya main gitar dan bikin lagu. Dia seorang yang rajin dan setia melayani dimana saja, mulai dari komsel, persekutuan doa, sekolah minggu sampai acara-acara kebaktian, dia selalu pergi melayani ditemani sepedanya.

Suatu hari Budi datang ke rumah membawa bagian chorus (refrain) lagu "Semua Baik" dan minta saya untuk membuat bagian verse (bait) nya.Akhirnya terciptalah lagu "Semua Baik" secara lengkap dalam waktu singkat karena inspirasi dariNya.Singkat cerita saya dan Budi berpisah karena saya harus sekolah ke luar kota.Beberapa waktu kemudian saya mendengar Budi sakit komplikasi dan kemudian meninggal dunia.

Budi meninggalkan istri dan seorang anak yang tuna rungu. Dia tidak meninggalkan warisan apa-apa (kekayaan) buat mereka.Lagu "Semua Baik" direkam untuk yang pertama kali beberapa tahun kemudian, dalam album anak-anak bernama Revi, dan mulai dinyanyikan di banyak gereja.

Sejak kematian Budi, lagu itu mengajar saya untuk selalu melihat kebaikan Tuhan.Budi dengan hidupnya yang sederhana dan penuh pergumulan, bahkan meskipun anaknya tuna rungu, dia bisa berkata lewat lagu ini bahwa semua yang Tuhan perbuat dalam hidupnya sangat baik.Saya berdoa melalui lagu ini kita semua bisa selalu melihat kebaikan Tuhan apapun yang terjadi dalam hidup kita. Amin. (Tommy)



From the deepest heart of Budi's wife :

Saya Yani, istri dari Alm.Budi Haryanto serta ibu dari Michael Ronaldo Setiabudi yang sekarang ini bersekolah di SLB-B Cimahi Bandung Di dalam setiap langkah-langkah hidup kami, Tuhan YESUS selalu hadir memimpin jalan hidup kami ini. Dengan kasih-Nya Tuhan membimbing kami dalam kebenaran untuk masuk dalam rencana serta kehendak Tuhan, kami mrnyadari betapa kebaikan Tuhan YESUS itu tidak bisa dikatakan juga dihitung karena terlalu banyaknya tapi bisa dirasakan. Segala yang Tuhan sudah buat adalah baik adanya,

karena itu kami bersyukur atas karya Tuhan YESUS yang membuat segala sesuatunya indah pada waktunya, serta baik adanya. Segala yang kami alami Tuhan YESUS itu sangat-sangat baik untuk menjadikan kami semakin dekat dengan Bapa.Saya dan anak saya mengucapkan syukur, berterima kasih buat segala kebaikan serta pemeliharaan Tuhan YESUS atas hidup kami hingga saat ini. Waktu ini juga kami berterima kasih buat teman-teman yang sudah menolong baik dalam doa maupun sekolah anak kami, juga tak lupa kepada papi Daniel Alexander, Tommy Widodo yang sangat baik bagi kami sertaKel. Bp. Adi Mulyanto dimana sekarang ini kami tinggal bersama-sama.Tuhan YESUS memberkati. (Yani)

Menurut Yani, Budi pulang ke rumah Bapa tanggal 12 April 2000, karena penyakit jantung. Sebelumnya, pada saat penyakit Budi semakin parah, Budi dan Yani harus berpisah karena keadaan. Budi menjalani terapi di Temanggung, dan Yani bekerja di Solo untuk membiayai keluarganya. Dua minggu sebelum meninggal, dalam pertemuan terakhir mereka, Budi yang sudah sangat kurus, hanya kulit yang membalut tulang, berpesan kepada Yani untuk tetap melayani Tuhan dengan setia. Satu kalimat Budi yang sangat diingat dan dipegang Yani adalah "kalaupun saya dipanggil Tuhan, Tuhan akan pelihara hidup kamu dan Michael".Michael masih berumur 4 tahun ketika papanya dipanggil Tuhan, dan 6 tahun kemudian, di tahun 2006, lagu "Semua Baik" sangat booming, dan memberkati banyak umat Tuhan dari berbagai denominasi. Yani juga merasakan berkat secara finansial dalam bentuk royalti, karena lagu ini banyak sekali direkam dalam berbagai album rohani.

Seperti kata Tommy, Budi pergi tidak meninggalkan warisan kekayaan.Tapi masih ada satu warisan, yaitu sebuah lagu yang kelak menjadi berkat tidak hanya bagi Yani & Michael, tapi bagi banyak orang percaya, bahkan orang-orang yang tidak pernah dilihat oleh Budi.

Seperti apa yang Budi janjikan pada Yani pada saat-saat terakhirnya, Tuhan menggenapi, bahwa Ia memelihara hidup Yani dan Michael. Sampai saat ini Yani tetap percaya bahwa Tuhan itu baik, tetap mengatakan semua baik di dalam Tuhan, dan semua indah pada waktuNya.

Budi tidak sempat mendengarkan lagu ini direkam saat ia masih ada di muka bumi ini, tapi lagu ini bergerak cepat melangkah memberkati umat Tuhan, bahkan lebih dari yang Budi perkirakan. Lagu ini tidak hanya dapat dinyanyikan dalam bahasa Indonesia, juga telah ditranslate ke bahasa Jepang, dan Inggris.



Zenbu ii



Hajime kara mou keseitawatashi no inochi kami no tenohiraniutsukushii keikakuwatashi no mirai hontou akarui



reff :

zenbu iizenbu iinandemo sarareru yoinochi no nakazenbu iitotemo iiinochi ni imi ga aru yo





All Is Good



You have planned all things from the beginning for all you have prepared for many life is in your hands oh Lord



i trust that your plansare purposed for my goodfor all future full of hopeand for abundant life



reff :

all is good, all is good everything that you have done in my life all is good, truly good i have meaning in my life because of You





All blessings, Julita Posted by julita manik



Apa yang terjadi smua baik adanya, smua baik di dalam pemeliharaan tangan-Nya. Mengucap syukurlah dalam segala hal, karna itulah yang dikehendaki Tuhan bagimu. Senantiasa mengucap syukur dan engkau akan merasakan hadirat-Nya menguatkan dirimu lebih dari yang kamu ketahui!



Sent by Yohana lina susanti.

Kesaksian Jim Caviezel ( Pemeran Tuhan Yesus dalam "The Passion of the Christ" )

Jim Caviezel adalah aktor Hollywood yang memerankan Tuhan Yesus dalam Film “The Passion of the Christ”. Berikut refleksi atas perannya di film itu.



Jim Caviezel adalah seorang aktor biasa dengan peran-peran kecil dalam film-film yang juga tidak besar. Pertan terbaik yang pernah dilakukannya (sebelum The Passion) adalah sebuah film perang yang berjudul “The Thin Red Line”. Itupun hanya salah satu peran dari bgitu banyak aktor besar yang berperan dal film kolosal itu.



Dalam Thin Red Line, Jim berperan sebagai prajurit yang berkorban demi menolong teman-temannya yang terluka dan terkepung musuh, ia berlari memancing musuh kearah yang lain walaupun ia tahu ia akan mati, dan akhirnya musuhpun mengepung dan membunuhnya. Kharisma kebaikan, keramahan, dan rela berkorbannya ini menarik perhatian Mel Gibson, yang sedang mencari aktor yang tepat untuk memerankan konsep film yang sudah lama disimpannya, menunggu orang yang tepat untuk memerankannya.



“Saya terkejut suatu hari dikirimkan naskah sebagai peran utama dalam sebuah film besar. Belum pernah saya bermain dalam film besar apalagi sebagai peran utama. Tapi yang membuat saya lebih terkejut lagi adalah ketika tahu peran yang harus saya mainkan. Ayolah…, Dia ini Tuhan, siapa yang bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiran Tuhan dan memerankannya? Mereka pasti bercanda." demikian pikir Jim Caviezel.



Besok paginya saya mendapat sebuah telepon, “Hallo ini, Mel”, kata suara dari telpon tersebut. “Mel siapa?”, tanya Jim bingung. Saya tidak menyangka kalau itu Mel Gibson, salah satu aktor dan sutradara Hollywood yang terbesar. Mel kemudian meminta kami bertemu, dan saya menyanggupinya.



Saat kami bertemu, Mel kemudian menjelaskan panjang lebar tentang film yang akan dibuatnya. Film tentang Tuhan Yesus yang berbeda dari film-film lain yang pernah dibuat tentang Dia. Mel juga menyatakan bahwa akan sangat sulit dalam memerankan film ini, salah satunya saya harus belajar bahasa dan dialek alamik, bahasa yang digunakan pada masa itu.



Dan Mel kemudian menatap tajam saya, dan mengatakan sebuah resiko terbesar yang mungkin akan saya hadapi. Katanya bila saya memerankan film ini, mungkin akan menjadi akhir dari karir saya sebagai aktor di Hollywood.



Sebagai manusia biasa saya menjadi gentar dengan resiko tersebut. Memang biasanya aktor pemeran Yesus di Hollywood, tidak akan dipakai lagi dalam film-film lain. Ditambah kemungkinan film ini akan dibenci oleh sekelompok orang Yahudi yang berpengaruh besar dalam bisnis pertunjukan di Hollywood . Sehingga habislah seluruh karir saya dalam dunia perfilman.



Dalam kesenyapan menanti keputusan saya apakah jadi bermain dalam film itu, saya katakan padanya. “Mel apakah engkau memilihku karena inisial namaku juga sama dengan Jesus Christ (Jim Caviezel), dan umurku sekarang 33 tahun, sama dengan umur Yesus Kristus saat Ia disalibkan?” Mel menggeleng setengah terperengah, terkejut, menurutnya ini menjadi agak menakutkan. Dia tidak tahu akan hal itu, ataupun terluput dari perhatiannya. Dia memilih saya murni karena peran saya di “Thin Red Line”. "Baiklah Mel, aku rasa itu bukan sebuah kebetulan, ini tanda panggilanku, semua orang harus memikul salibnya. Bila ia tidak mau memikulnya maka ia akan hancur tertindih salib itu. Aku tanggung resikonya, mari kita buat film ini!" sahut Jim.



Maka saya pun ikut terjun dalam proyek film tersebut. Dalam persiapan karakter selama berbulan-bulan saya terus bertanya-tanya, dapatkah saya melakukannya? Keraguan meliputi saya sepanjang waktu. Apa yang seorang Anak Tuhan pikirkan, rasakan, dan lakukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membingungkan saya, karena begitu banyak referensi mengenai Dia dari sudut pandang berbeda-beda.



Akhirnya hanya satu yang bisa saya lakukan, seperti yang Yesus banyak lakukan yaitu lebih banyak berdoa. Memohon tuntunan-Nya melakukan semua ini. Karena siapalah saya ini memerankan Dia yang begitu besar. Masa lalu saya bukan seorang yang dalam hubungan dengan-Nya. Saya memang lahir dari keluarga Katolik yang taat, kebiasaan-kebiasaan baik dalam keluarga memang terus mengikuti dan menjadi dasar yang baik dalam diri saya.



Saya hanyalah seorang pemuda yang bermain bola basket dalam liga SMA dan kampus, yang bermimpi menjadi seorang pemain NBA yang besar. Namun cedera engkel menghentikan karir saya sebagai atlit bola basket. Saya sempat kecewa pada Tuhan, karena cedera itu, seperti hancur seluruh hidup saya.



Saya kemudian mencoba peruntungan dalam casting-casting, sebuah peran sangat kecil membawa saya pada sebuah harapan bahwa seni peran mungkin menjadi jalan hidup saya. Kemudian saya mendalami seni peran dengan masuk dalam akademi seni peran, sambil sehari-hari saya terus mengejar casting.



Dan kini saya telah berada dipuncak peran saya. Benar Tuhan, Engkau yang telah merencanakan semuanya, dan membawaku sampai di sini. Engkau yang mengalihkanku dari karir di bola basket, menuntunku menjadi aktor, dan membuatku sampai pada titik ini. Karena Engkau yang telah memilihku, maka apa pun yang akan terjadi, terjadilah sesuai kehendak-Mu.



Saya tidak membayangkan tantangan film ini jauh lebih sulit dari pada bayangan saya.



Di make-up selama 8 jam setiap hari tanpa boleh bergerak dan tetap berdiri, saya adalah orang satu-satunya di lokasi syuting yang hampir tidak pernah duduk. Sungguh tersiksa menyaksikan kru yang lain duduk-duduk santai sambil minum kopi. Kostum kasar yang sangat tidak nyaman, menyebabkan gatal-gatal sepanjang hari syuting membuat saya sangat tertekan. Salib yang digunakan, diusahakan seasli mungkin seperti yang dipikul oleh Yesus saat itu. Saat mereka meletakkan salib itu dipundak saya, saya kaget dan berteriak kesakitan, mereka mengira itu akting yang sangat baik, padahal saya sungguh-sungguh terkejut. Salib itu terlalu berat, tidak mungkin orang biasa memikulnya, namun saya mencobanya dengan sekuat tenaga.



Yang terjadi kemudian setelah dicoba berjalan, bahu saya copot, dan tubuh saya tertimpa salib yang sangat berat itu. Dan sayapun melolong kesakitan, minta pertolongan. Para kru mengira itu akting yang luar biasa, mereka tidak tahu kalau saya dalam kecelakaan sebenarnya. Saat saya memulai memaki, menyumpah dan hampir pingsan karena tidak tahan dengan sakitnya, maka merekapun terkejut, sadar apa yang sesungguhnya terjadi dan segera memberikan saya perawatan medis.



Sungguh saya merasa seperti setan karena memaki dan menyumpah seperti itu, namun saya hanya manusia biasa yang tidak biasa menahannya. Saat dalam pemulihan dan penyembuhan, Mel datang pada saya. Ia bertanya apakah saya ingin melanjutkan film ini, ia berkata ia sangat mengerti kalau saya menolak untuk melanjutkan film itu. Saya bekata pada Mel, saya tidak tahu kalau salib yang dipikul Tuhan Yesus seberat dan semenyakitkan seperti itu. Tapi kalau Tuhan Yesus mau memikul salib itu bagi saya, maka saya akan sangat malu kalau tidak memikulnya walau sebagian kecil saja. Mari kita teruskan film ini. Maka mereka mengganti salib itu dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan bahan yang lebih ringan, agar bahu saya tidak terlepas lagi, dan mengulang seluruh adegan pemikulan salib itu. Jadi yang penonton lihat didalam film itu merupakan salib yang lebih kecil dari aslinya.



Bagian syuting selanjutnya adalah bagian yang mungkin paling mengerikan, baik bagi penonton dan juga bagi saya, yaitu syuting penyambukan Yesus. Saya gemetar menghadapi adegan itu, Karena cambuk yang digunakan itu sungguhan. Sementara punggung saya hanya dilindungi papan setebal 3 cm. Suatu waktu para pemeran prajurit Roma itu mencambuk dan mengenai bagian sisi tubuh saya yang tidak terlindungi papan. Saya tersengat, berteriak kesakitan, bergulingan di tanah sambil memaki orang yang mencambuk saya. Semua kru kaget dan segera mengerubungi saya untuk memberi pertolongan.



Tapi bagian paling sulit, bahkan hampir gagal dibuat yaitu pada bagian penyaliban. Lokasi syuting di Italia sangat dingin, sedingin musim salju, para kru dan figuran harus manggunakan mantel yang sangat tebal untuk menahan dingin. Sementara saya harus telanjang dan tergantung diatas kayu salib, diatas bukit yang tertinggi disitu. Angin dari bukit itu bertiup seperti ribuan pisau menghujam tubuh saya. Saya terkena hypothermia (penyakit kedinginan yang biasa mematikan), seluruh tubuh saya lumpuh tak bisa bergerak, mulut saya gemetar bergoncang tak terkendalikan. Mereka harus menghentikan syuting, karena nyawa saya jadi taruhannya.



Semua tekanan, tantangan, kecelakaan dan penyakit membawa saya sungguh depresi. Adegan-adegan tersebut telah membawa saya kepada batas kemanusiaan saya. Dari adegan-keadegan lain semua kru hanya menonton dan menunggu saya sampai pada batas kemanusiaan saya, saat saya tidak mampu lagi baru mereka menghentikan adegan itu. Ini semua membawa saya pada batas-batas fisik dan jiwa saya sebagai manusia. Saya sungguh hampir gila dan tidak tahan dengan semua itu, sehingga sering kali saya harus lari jauh dari tempat syuting untuk berdoa. Hanya untuk berdoa, berseru pada Tuhan kalau saya tidak mampu lagi, memohon Dia agar memberi kekuatan bagi saya untuk melanjutkan semuanya ini. Saya tidak bisa, masih tidak bisa membayangkan bagaimana Yesus sendiri melalui semua itu, bagaimana menderitanya Dia. Dia bukan sekadar mati, tetapi mengalami penderitaan luar biasa yang panjang dan sangat menyakitkan, bagi fisik maupun jiwa-Nya.



Dan peristiwa terakhir yang merupakan mujizat dalam pembuatan film itu adalah saat saya ada diatas kayu salib. Saat itu tempat syuting mendung gelap karena badai akan datang, kilat sambung menyambung diatas kami. Tapi Mel tidak menghentikan pengambilan gambar, karena memang cuaca saat itu sedang ideal sama seperti yang seharusnya terjadi seperti yang diceritakan. Saya ketakutan tergantung diatas kayu salib itu, disamping kami ada dibukit yang tinggi, saya adalah objek yang paling tinggi, untuk dapat dihantam oleh halilintar. Baru saja saya berpikir ingin segera turun karena takut pada petir, sebuah sakit yang luar biasa menghantam saya beserta cahaya silau dan suara menggelegar sangat kencang (setan tidak senang dengan adanya pembuatan film seperti ini). Dan sayapun tidak sadarkan diri.



Yang saya tahu kemudian banyak orang yang memanggil-manggil meneriakkan nama saya, saat saya membuka mata semua kru telah berkumpul disekeliling saya, sambil berteriak-teriak “dia sadar! dia sadar!” (dalam kondisi seperti ini mustahil bagi manusia untuk bisa selamat dari hamtaman petir yang berkekuatan berjuta-juta volt kekuatan listrik, tapi perlindungan Tuhan terjadi di sini).



“Apa yang telah terjadi?” tanya saya. Mereka bercerita bahwa sebuah halilintar telah menghantam saya diatas salib itu, sehingga mereka segera menurunkan saya dari situ. Tubuh saya menghitam karena hangus, dan rambut saya berasap, berubah menjadi model Don King. Sungguh sebuah mujizat kalau saya selamat dari peristiwa itu.



Melihat dan merenungkan semua itu sering kali saya bertanya, “Tuhan, apakah Engkau menginginkan film ini dibuat? Mengapa semua kesulitan ini terjadi, apakah Engkau menginginkan film ini untuk dihentikan”? Namun saya terus berjalan, kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan. Selama itu benar, kita harus terus melangkah. Semuanya itu adalah ujian terhadap iman kita, agar kita tetap dekat pada-Nya, supaya iman kita tetap kuat dalam ujian.



Orang-orang bertanya bagaimana perasaan saya saat ditempat syuting itu memerankan Yesus. Oh… itu sangat luar biasa… mengagumkan… tidak dapat saya ungkapkan dengan kata-kata. Selama syuting film itu ada sebuah hadirat Tuhan yang kuat melingkupi kami semua, seakan-akan Tuhan sendiri berada di situ, menjadi sutradara atau merasuki saya memerankan diri-Nya sendiri.



Itu adalah pengalaman yang tak terkatakan. Semua yang ikut terlibat dalam film itu mengalami lawatan Tuhan dan perubahan dalam hidupnya, tidak ada yang terkecuali. Pemeran salah satu prajurit Roma yang mencambuki saya itu adalah seorang muslim, setelah adegan tersebut, ia menangis dan menerima Yesus sebagai Tuhannya. Adegan itu begitu menyentuhnya. Itu sungguh luar biasa. Padahal awalnya mereka datang hanya karena untuk panggilan profesi dan pekerjaan saja, demi uang. Namun pengalaman dalam film itu mengubahkan kami semua, pengalaman yang tidak akan terlupakan.



Dan Tuhan sungguh baik, walaupun memang film itu menjadi kontroversi. Tapi ternyata ramalan bahwa karir saya berhenti tidak terbukti. Berkat Tuhan tetap mengalir dalam pekerjaan saya sebagai aktor. Walaupun saya harus memilah-milah dan membatasi tawaran peran sejak saya memerankan film ini.



Saya harap mereka yang menonton The Passion of Jesus Christ, tidak melihat saya sebagai aktornya. Saya hanyalah manusia biasa yang bekerja sebagai aktor, jangan kemudian melihat saya dalam sebuah film lain kemudian mengaitkannya dengan peran saya dalam The Passion dan menjadi kecewa.



Tetap pandang hanya pada Yesus saja, dan jangan lihat yang lain. Sejak banyak bergumul berdoa dalam film itu, berdoa menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan dalam hidup saya. Film itu telah menyentuh dan mengubah hidup saya, saya berharap juga hal yang sama terjadi pada hidup anda. Amin.



Sumber: http://sityb.wordpress.com/2009/09/08/kesaksian-jim-caviezel-pemeran-yesus-dalam-the-passion-of-the-christ/

love from Tian Jin

Namanya BAI FANG LI. Pekerjaannya adalah seorang tukang becak. Seluruh hidupnya dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.



Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dengan Tuhan. Dia melalang dijalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.



Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.



Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.



Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat, diruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya, diruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dimana biasa ia makan, ada sebuah tempat minum dari kaleng. Dipojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah menjelang.



Bai Fang Li tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong.Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.



Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.



Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan mengendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.



Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.



Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana."Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya...." jawab anak itu."Orang tuamu dimana...?" tanya Bai Fang Li."Saya tidak tahu...., ayah ibu saya pemulung.... Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil..." sahut anak itu.



Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.



Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.



Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.



Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.



Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmmm... tapi masih cukup bagus... gumannya senang.



Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.



"Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini...," katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.



Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li mengayuh becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu.Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.



Bai Fang Li berkata "Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan......" katanya dengan sendu.Semua guru di sekolah itu menangis........



Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 (kurs 1300, setara 455 juta rupiah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.



Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya yang bertuliskan " Sebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa".



Bila SESEORANG yang miskin menyumbang dari kekurangannya, maka ia adalah salah satu PENGHUNI SURGA yang diutus ke dunia, yang mengajarkan kita untuk selalu BERSYUKUR dan selalu BERBAGI kepada sesama.



Lukas 21:1-4 = Persembahan seorang janda miskin ==> Ketika Yesus mengangkat muka-Nya, Ia melihat orang-orang kaya memasukkan persembahan mereka ke dalam peti persembahan. Ia melihat juga seorang janda miskin memasukkan dua peser ke dalam peti itu. Lalu Ia berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang itu. Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya."





By: To Faith (sumber dari internet dan diterjemahkan dari bahasa cina ke bahasa inggris oleh seorang teman) 

Kamis, 02 September 2010

Kasih terbesar


“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya…”

Pada suatu siang, sebuah peluru mortir mendarat di sebuah panti asuhan di sebuah perkampungan kecil Vietnam. Seorang petugas panti asuhan dan dua orang anak langsung tewas, beberapa anak lainnya terluka, termasuk seorang gadis kecil yang berusia sekitar 8 tahun.

Orang-orang dari kampung tersebut segera meminta pertolongan medis dari kota terdekat. Akhirnya, seorang dokter Angkatan Laut Amerika dan seorang perawat dari Perancis yang kebetulan berada di kota itu bersedia menolong. Dengan membawa Jeep yang berisi obat-obatan dan perlengkapan medis mereka berangkat menuju panti asuhan tersebut.

Setelah melihat keadaan gadis kecil itu, dokter menyimpulkan bahwa anak tersebut sudah dalam keadaan yang sangat kritis. Tanpa tindakan cepat, anak itu akan segera meninggal kehabisan darah. Transfusi darah adalah jalan terbaik untuk keluar dari masa kritis ini.

Dokter dan perawat tersebut segera mengadakan pengujian singkat kepada orang-orang di panti asuhan - termasuk anak-anak, untuk menemukan golongan darah yang cocok dengan gadis kecil itu. Dari pengujian tersebut ditemukan beberapa orang anak yang memiliki kecocokan darah dengan gadis kecil tersebut.

Sang dokter, yang tidak begitu lancar berberbahasa Vietnam - berusaha keras menerangkan kepada anak-anak tersebut - bahwa gadis kecil itu hanya bisa ditolong dengan menggunakan darah salah satu anak-anak itu. Kemudian, dengan berbagai bahasa isyarat, tim medis menanyakan apakah ada di antara anak-anak itu yang bersedia menyumbangkan darahnya bagi si gadis kecil yang terluka parah.

Permintaan itu ditanggapi dengan diam seribu bahasa. Setelah agak lama, seorang anak mengacungkan tangannya perlahan-lahan, tetapi dalam keraguan ia menurunkan tangannya lagi, walaupun sesaat kemudian ia mengacungkan tangannya lagi.

“Oh, terima kasih,” kata perawat itu terpatah-patah. “Siapa namamu ?”

“Heng,” jawab anak itu.

Heng kemudian dibaringkan ke tandu, lengannya diusap dengan alkohol, dan kemudian sebatang jarum dimasukkan ke dalam pembuluh darahnya. Selama proses ini, Heng terbaring kaku, tidak bergerak sama sekali.

Namun, beberapa saat kemudian ia menangis terisak-isak, dan dengan cepat menutupi wajahnya dengan tangannya yang bebas.

“Apakah engkau kesakitan, Heng ?” tanya dokter itu. Heng menggelengkan kepalanya, tetapi tidak lama kemudian Heng menangis lagi, kali ini lebih keras. Sekali lagi dokter bertanya, apakah jarum yang menusuknya tersebut membuatnya sakit, dan Heng menggelengkan kepalanya lagi.

Tetapi tangisan itu tidak juga berhenti, malah makin memilukan. Mata Heng terpejam rapat, sedangkan tangannya berusaha menutup mulutnya untuk menahan isakan tangis.

Tim medis itu menjadi khawatir, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Untunglah seorang perawat Vietnam segera datang. Melihat anak kecil itu yang tampak tertekan - ia berbicara cepat dalam bahasa Vietnam. Perawat Vietnam itu mendengarkan jawaban anak itu dengan penuh perhatian, dan kemudian perawat itu menjelaskan sesuatu pada Heng dengan nada suara yang menghibur.

Anak itu mulai berhenti menangis - dan menatap lembut mata perawat Vietnam itu beberapa saat. Ketika perawat Vietnam itu mengangguk - tampak sinar kelegaan menyinari wajah Heng.

Sambil melihat ke atas, perawat itu berkata lirih kepada dokter Amerika tersebut, “Ia mengira bahwa ia akan mati. Ia salah paham. Ia mengira anda memintanya untuk memberikan seluruh darahnya agar gadis kecil itu tetap hidup.”

“Tetapi kenapa ia tetap mau melakukannya ?” tanya sang perawat Perancis dengan heran.

Perawat Vietnam itu kembali bertanya kepada Heng.. dan Heng pun menjawab dengan singkat :

“Ia sahabat saya..”

(Seperti yang ditulis oleh Kolonel dr. John W. Mansur, - termuat dalam buku “The Missileer”, New York, 2004)
Kiriman dari Lisa Esther.

Pengamen dan Penginjil


Di bawah ini merupakan kesaksian dari pendeta yang kemarin berkotbah di tempat saya. Nama pendetanya Bp Wisnu. Berikut penuturan beliau,
Beberapa waktu yang lalu saya ada pelayanan untuk Youth di daerah Tangerang. Saya naik bis jurusan Tangerang pada siang harinya untuk menuju rumah kakak saya terlebih dulu karena pelayanan tersebut akan berlangsung sore hari. Di dalam bis yang penuh sesak tersebut, masuk pula seorang pengamen cilik usia sekitar 7-8 tahun dengan berbekal kecrekan sederhana (mungkin dari tutup botol)

Berbekal alat musik sederhana tersebut, dia nyanyikan lagu "Yesus ajaib, Tuhanku ajaib...." (~ a song by Ir. Niko, red.) Dan kata-kata tersebut diulang terus menerus. Hampir seluruh penumpang bis memarahi anak tersebut, "Diam kamu! Jangan nyanyi lagu itu lagi. Kalau kamu nggak diam, nanti saya pukul kamu!"

Tapi ternyata anak tersebut tidak menanggapi kemarahan mereka dan dengan berani terus menyanyikan lagu tersebut. Saya dalam hati berkata, "Tuhan, anak ini luar biasa. Kalau saya, belum tentu saya bisa/berani melakukan hal tersebut". Karena bis akan melanjutkan perjalanan menuju tol berikutnya, di pintu tol menuju Serpong (kalau tidak salah), hampir 3/4 penumpang turun dari bis tersebut. Termasuk saya dan pengamen cilik tersebut. Anak kecil itu didorong hingga akhirnya jatuh. Kemudian dia bangkit lagi. Tapi dia didorong oleh massa hingga terjatuh lagi. Semua penumpang bis mengerumuni anak itu. Saya masih ada di situ dengan tujuan jika kemudian anak tsb akan ditempeleng atau dihajar, saya akan berusaha untuk menariknya lari menjauhi mereka.

Seluruh kerumunan itu baik pria maupun wanita menjadi marah, "Sudah dibilang jangan nyanyi masih nyanyi terus! Kamu mau saya pukul?" dst, dst. Anak kecil itu hanya terdiam. Setelah amarah mereka mulai mereda, anak kecil itu baru berbicara, "Bapak-bapak, Ibu-Ibu jika mau pukul saya, pukul saja. Kalau mau bunuh, bunuh saja. Tapi yang Bapak dan Ibu perlu tahu, walaupun saya dipukul atau dibunuh saya tetap akan menyanyikan lagu tersebut." Seluruh kerumunan menjadi terdiam sepertinya mulut mereka terkunci. Kemudian dia melanjutkan, "Sudahlah... . Bapak, Ibu tidak perlu marah-marah lagi. Sini.. saya doakan saja Bapak-Ibu."

Dan apa yang terjadi, seluruh kerumunan itu didoakan satu per satu oleh anak ini. Banyak yang tiba-tiba menangis dan akhirnya mau menerima Tuhan. Saya yang sedari tadi menyaksikan hal tersebut, kemudian pergi meninggalkan kerumunan tsb. Saya melanjutkan naik mikrolet. Jalanan macet krn kejadian tersebut hingga mikrolet melaju dengan sangat lambat. Sopir mikroletnya bertanya, "Ada apa sih Pak? Koq banyak kerumunan?" Saya jawab "O.... Itu ada banyak orang didoakan oleh anak kecil."

Di saat mikrolet melaju dengan sangat pelan, tiba-tiba anak kecil pengamen itu naik mikrolet yang sama dengan saya. Saya kemudian bertanya, "Dik, kamu nggak takut dengan orang-orang itu?"

Jawabnya, "Buat apa saya takut? Roh yang ada dalam diri saya lebih besar dari roh apapun di dunia ini", tuturnya mengutip ayat Firman Tuhan. Lanjutnya, "Bapak mau saya doakan?"

Saya terperanjat, "Kamu mau doakan saya?"

Jawabnya, "Ya kalau Bapak mau."

Saya menjawab, "Baiklah. Kamu boleh doakan saya."

Doanya, "Tuhan berkati Bapak ini. Berkati dan urapi Bapak ini jika sore nanti dia akan ada pelayanan Youth."

Sampai di situ, saya tidak bisa menahan air mata yang deras mengalir. Saya tidak peduli lagi dengan penumpang lain yang mungkin menonton kejadian tersebut. Yang saya tahu bahwa Tuhan sendiri yang berbicara pada anak ini, dari mana dia tahu saya akan ada pelayanan Youth sore ini.

Kesaksian ditutup sampai di situ dan dengan satu kesimpulan, jika kita mau, Tuhan bisa pakai kita lebih lagi. Bukan kemampuan tapi kemauan yang Tuhan kehendaki.

~ kesaksian oleh Pdt. Wisnu
Tuhan memberkati.

Sumber : Renungan Harian
Ditulis ulang dari catatan Blessing Family Centre.

Yesus hadir di Mesir


Keajaiban di Mesir baru-baru ini (Disiarkan di CBS) Seorang muslim di Mesir membunuh istrinya karena membaca alkitab kemudian menguburnya bersama bayi dan anak perempuannya yg berusia 8th. Anak ini dikubur hidup-hidup! Kemudian si suami melaporkan bahwa seorang pama telah membunuh anak-anaknya.
15 hari kemudian, seorang anggota keluarganya yang lain meninggal. Dan ketika mereka hendak menguburkannya, mereka menemukan kedua anak perempuan itu masih hidup!!
Negara sangat kaget mendengar tentang insiden tersebut, dan pria tersebut akan dihukum mati pada akhir Juli. Anak perempuan yg lebih besar ditanyai bagaimana ia dapat bertahan hidup, dan ia menjawab:
"Seorang pria mengggunakan baju putih bersinar, dengan luka menganga di tangannya, datang setiap hari untuk memberi makan kami. Dia juga membangunkan ibu supaya dia dapat menyusui adikku." katanya.
Anak perempuan ini diinterview di salah satu TV Nasional di Mesir, oleh seorang reporter wanita muslim. Dia berkata di TV, "Ini tidak lain adalah Yesus, karena tidak ada lagi yg dapat melakukan hal seperti itu" ia percaya bahwa Isa (Yesus) melakukan hal ini, dan luka-luka itu membuktikan bahwa Dia sungguh-sungguh disalibkan, dan sangat jelas bahwa Dia hidup!! Dan sangat jelas pula bahwa anak kecil itu tidak mungkin mengarang cerita seperti ini, juga tidak mungkin anak-anak ini hidup tanpa keajaiban yang nyata. Para pemuka muslim akan mengalami waktu sulit untuk menyadari apa yang sebenarnya terjadi di sini,sekalipun kepopuleran film "the Passion" tidak membantu!!
Dengan Mesir menjadi pusat media dan pengajaran di Timur Tengah, kami dapat memastikan bahwa cerita ini akan menyebar. Kristus masih berkuasa atas dunia.

The lord says, "I will bless the person who puts his trust in me." (Jeremiah 17)
Tuhan berkata, "Aku akan memberkati setiap orang yang percaya kepada-Ku." (Yeremia: 17)
Yesus berkata, " Barang siapa malu mengakui Aku, Aku pun akan malu mengakui dia di hadapan Bapa."

Ditulis ulang dari catatan Lilis Setyani, desember 2009.

Cangkir yang cantik

Cangkir yang cantik

oleh 'SEMUA PASTI INDAH PADA WAKTUNYA' pada 12 Juni 2010 jam 11:33


Sepasang opa dan oma pergi belanja di sebuah toko souvenir untuk mencari hadiah buat cucu mereka. Kemudian mata mereka tertuju pada sebuah cangkir yang cantik, "Lihat cangkir itu," kata si oma kepada suaminya. "Kau benar, inilah cangkir tercantik yang pernah aku lihat," ujar si opa.


Saat mereka mendekati cangkir itu, tiba-tiba cangkir yang dimaksud berbicara "Terima kasih untuk perhatiannya, perlu diketahui bahwa aku dulunya tidak cantik. Sebelum menjadi cangkir yang dikagumi, aku hanyalah seonggok tanah liat yang tidak berguna. Namun suatu hari ada seorang penjunan dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah roda berputar. Kemudian ia mulai memutar-mutar aku hingga aku merasa pusing. Stop ! Stop ! Aku berteriak, Tetapi orang itu berkata "belum !" lalu ia mulai menyodok dan meninjuku berulang-ulang. Stop ! Stop ! teriakku lagi. Tapi orang ini masih saja meninjuku, tanpa menghiraukan teriakanku. Bahkan lebih buruk lagi ia memasukkan aku ke dalam perapian. Panas ! Panas ! Teriakku dengan keras. Stop ! Cukup ! Teriakku lagi. Tapi orang ini berkata "belum !" Akhirnya ia mengangkat aku dari perapian itu dan membiarkan aku sampai dingin.

Aku pikir, selesailah penderitaanku. Oh ternyata belum. Setelah dingin aku diberikan kepada seorang wanita muda dan dan ia mulai mewarnai aku. Asapnya begitu memualkan. Stop ! Stop ! Aku berteriak. Wanita itu berkata "belum !" Lalu ia memberikan aku kepada seorang pria dan ia memasukkan aku lagi ke perapian yang lebih panas dari sebelumnya ! Tolong ! Hentikan penyiksaan ini ! Sambil menangis aku berteriak sekuat-kuatnya. Tapi orang ini tidak peduli dengan teriakanku. Ia terus membakarku. Setelah puas "menyiksaku" kini aku dibiarkan dingin. Setelah benar-benar dingin seorang wanita cantik mengangkatku dan menempatkan aku dekat kaca.

Aku melihat diriku. Aku terkejut sekali. Aku hampir tidak percaya, karena di hadapanku berdiri sebuah cangkir yang begitu cantik. Semua kesakitan dan penderitaanku yang lalu menjadi sirna tatkala kulihat diriku."


Saudara, seperti inilah Allah membentuk kita. Pada saat Ia membentuk kita, tidaklah menyenangkan, sakit, penuh penderitaan, dan banyak air mata. Tetapi inilah satu-satunya cara bagi Allah untuk mengubah kita supaya menjadi cantik dan memancarkan kemuliaan Allah.

"Saudara-saudaraKu, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai pencobaan, sebab kamu tahu bahwa UJIAN terhadap IMANMU menghasilkan KETEKUNAN. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang supaya kamu MENJADI SEMPURNA dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun. Apabila anda sedang menghadapi ujian hidup, jangan kecil hati, karena Alllah sedang membentuk anda. Bentukan-bentukan ini memang menyakitkan tetapi setelah semua proses itu selesai. Anda akan melihat betapa cantiknya Allah membentuk anda." (Yak 1 : 2 - 4)

Kiriman dari Jacko K.

Bunga lili



Dikisahkan, di tepian tebing yang terjal, tumbuhlah setangkai tunas bunga lily. Saat tunas bunga lily mulai bertumbuh, dia tampak seperti sebatang rumput biasa. Tetapi, dia mempunyai keyakinan yang kuat, bahwa kelak dia pasti akan tumbuh menjadi sekuntum bunga lily yang indah.

Rumput-rumput liar di sekitarnya mengejek dan menertawakannya. Burung-burung dan serangga pun menasihatinya agar tunas lily jangan bermimpi menjadi bunga. Mereka pun berkata, "Hai tunas muda, sekalipun kamu bisa mekar menjadi kuntum bunga lily yang cantik, tetapi lihatlah sekitarmu. Di tebing yang terpencil ini, biarpun secantik apa pun dirimu kelak, tidak ada orang yang akan datang melihat dan menikmati keindahanmu."

Diejek seperti itu, tunas bunga lily tetap diam dan semakin rajin menyerap air dan sinar matahari agar akar dan batangnya bertumbuh kuat. Akhirnya, suatu pagi di musim semi, saatnya kuncup pertama pun mulai bertumbuh. Bunga lily merasa senang sekali. Usaha dan kerja kerasnya tidak sia-sia. Hal itu menambah keyakinan dan kepercayaan dirinya.

Dia berkata kepada dirinya sendiri, "Aku akan mekar menjadi sekuntum bunga lily yang indah. Kewajibanku sebagai bunga adalah mekar dan berbunga. Tidak peduli apakah ada orang yang akan melihat atau menikmati keberadaanku. Aku tetap harus mekar dan berbunga sesuai dengan identitasku sebagai bunga lily."

Hari demi hari, waktu terus berjalan. Akhirnya, kuncup bunga lily pun mekar berkembang-tampak indah dan putih warnanya. Saat itulah, rumput liar, burung-burung, dan serangga tidak berani lagi mengejek dan menertawakan si bunga lily.

Bunga lily pun tetap rajin memperkuat akar dan bertumbuh terus. Dari satu kuntum menjadi dua kuntum, berkembang lagi, terus dan terus berkembang, semakin banyak. Sehingga jika dilihat dari kejauhan, tebing pun seolah diselimuti oleh hamparan putih bunga-bunga lily yang indah. Orang-orang dari kota maupun desa, mulai berdatangan untuk menikmati keindahan permadani putih bunga lily. Dan tempat itu pun kemudian terkenal dengan sebutan "Tebing Bunga Lily."

Cerita semangat bunga lily ini menginspirasikan kepada kita, saat kita mempunyai impian, ide, keinginan, atau hal positif yang menjadi keyakinan kita untuk diwujudkan, jangan takut dengan hal apapun dan awali dengan semangat, doa, berpikir jernih
Justru sebaliknya, tetaplah yakin dan berjuang dengan segenap kemampuan yang kita miliki. Buktikan semua mimpi bisa menjadi nyata.

Hanya dengan bukti keberhasilan yang mampu kita ciptakan, maka identitas kita, jati diri kita, lambat atau cepat pasti akan diakui dan diterima; selaras dengan pepatah yang menyatakan: "A great pleasure in life is doing what people say, you cannot do." Kepuasan terbesar dalam hidup ini adalah mampu melakukan apa yang dikatakan orang lain tidak dapat kita lakukan.

Kiriman dari Yohana lina susanti.

Melihat wajah Allah



Dalam bukunya "Blessings and Woes", Megam McKenna menceritakan seorang pemotret yang mengamati dunia lewat lensa kameranya, namun gagal membidik gambar yang terpenting dalam hidupnya. Diakhir tahun 1980'an Ekuador dilanda krisis ekonomi berat. Lalu, dalam proporsi besar sekali, terserang epidemi wabah kolera. Seakan masih kurang, bencana alam silih-berganti memporakporandakan desa-desa maupun kota-kota. PBB dan badan sosial Kristen lainnya meresponi dengan membawakan persediaan jagung, produk2 kedelai, susu, buah2an, tortilla (makanan dari tepung jagung), beras dan kacang2an.

Juru potret itu mengambil posisi di suatu jalan utama dimana orang-orang sakit, yang kelaparan, yang sudah letih lesu saling berbaris menunggu pembagian makanan. Ia sudah terlatih untuk mengawasi hal-hal kecil dan situasi umumnya yang sedang berkembang.

Ia tertarik pada seorang gadis -- kurus kering dan dekil, berusia sekitar 9 atau 10 tahun. Diamatinya, selagi gadis ini dengan sabar antri, matanya selalu tertuju pada tiga anak lain lagi yang saling erat berjongkok di bawah sebuah pohon besar, memayungi diri dan menghindar dari terik panas matahari. Dua bocah laki-laki, berumur 5 dan 7, saling menggandeng seorang gadis kecil sekitar 3 tahun. Karena perhatiannya teralihkan, gadis itu tidak melihat bahwa pekerja-pekerja sosial itu sedang kehabisan persediaan makanan. Jantung ahli potret itu berdetak keras. Kameranya juga sudah siap.
Setelah ber-jam2 terjemur di bawah matahari, gadis kecil itu akhirnya mendapatkan giliran dilayani. Yang ia terima cuma sebuah pisang. Tetapi, reaksinya begitu memukau dan seakan melumpuhkan tukang potret ini. Pertama, wajahnya menyala, bersinar dalam sebuah senyum begitu manis. Ia menerima pisang itu dan membungkuk pada pekerja sosialnya. Lalu cepat-cepat ia berlari menuju ketiga anak kecil di bawah pohon tadi. Dengan amat hati-hati ia menguliti, membaginya rata dalam 3 potong dan dengan hati-hati sekali, ditaruhnya masing-masing ke dalam tangan tiap anak. Bersama-sama mereka menundukkan kepala dan berdoa mengucap syukur! Lalu, perlahan2, mereka memakan potongan pisang, benar-benar menikmati setiap gigitannya, sedang gadis tertua itu mengisapi kulitnya.

Tukang potret itu terdiam seribu bahasa. Tak tertahan lagi, ia mulai menangis tersedu-sedu, lupa sama sekali akan semua kameranya dan akan tujuan utamanya ia hadir disana. Belakangan, setelah sadar kembali, ia bertutur, ketika sedang mengamati gadis itu, ia melihat wajah Allah bersinar. Ia sempat mengintip secuil kecil Kerajaan Allah dalam wajah dan tindakan-tindakan seorang gadis miskin jalanan yang begitu kaya dalam kemurahan hati, cinta kasih dan saling kepedulian.

Ia memang benar : itu memang wajah Allah yang dilihatnya di dalam diri gadis kecil itu yang "mematikan" kebutuhannya sendiri agar orang lain bisa dipuaskan dan hidup. Dan adalah wajah Allah yang kita lihat dalam diri Yesus yang berlutut di lantai, mencuci segala tanah dan kotoran yang melekat di kaki para muridNya, dan membasuh dengan tanganNya sendiri. (JM)

~ Excerpted from Sambuhay by Society of St. Paul The God We Encounter at the Super Table (orig. title). Shared by Joe Gatuslao -- Philippines

Ditulis ulang oleh Octha viany.

Pohon apel



Suatu ketika, hiduplah pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di bawah teduh dan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula, pohon apel sangat mencintai anak kecil itu. Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.

Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. "Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu.

"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki itu. "Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."

Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang; tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu. "

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang. "Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon apel.

"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu. "Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?"

"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel. Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya. "Ayo bermain-main lagi deganku," kata pohon apel.

"Aku sedih," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?"

"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah ." Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian."Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu."

"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu," jawab anak lelaki itu.

"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata pohon apel.

"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak lelaki itu.

"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki. "Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu."

"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang." Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Ini adalah cerita tentang kita semua.
Pohon apel itu adalah orang tua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita.
Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan.

Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.

Kiriman dari 'Semua Karena Kasih'.

Sekawanan angsa



Pernahkah anda amati cara hidup angsa?
Bila musim berganti, biasanya kawanan angsa akan berpindah tempat secara berkelompok. Mereka terbang mencari tempat persinggahan yang baru.
Pada saat rombongan angsa itu mengudara, mereka akan membentuk formasi huruf 'V'. Dikala mereka mengepakkan sayap, maka angsa berikutnya akan terangkat, dan seluruh rombongan akan terbang 71 % lebih cepat dibanding dengan mereka terbang sendiri-sendiri. Kalau kepala rombongan letih, ia akan berpindah tempat ke belakang dan seekor angsa lain akan maju mengambil alih tempatnya. Bila dalam perjalanan ada angsa yang jatuh sakit atau misalnya kena luka tembak dan terpaksa harus meninggalkan formasi, maka otomatis dua ekor angsa lainnya akan undur untuk menopang dan melindunginya lalu mendarat. Mereka akan menunggu hingga temannya sembuh, untuk bergabung dengan rombongan berikutnya.
Sungguh indah kebersamaan di antara para angsa itu. Tanpa pamrih mereka saling menopang, mendukung, menguatkan, dan menghibur. Bagaimana dengan kita? Apakah kita juga memiliki semangat kebersamaan itu?
Hanya dengan semangat kebersamaan, hidup kebersamaan kita akan terasa indah. Jalan yang berat dan berlikupun akan terasa ringan bila kita melangkah dengan semangat saling mendukung dan menopang. Bersama-sama kita juga akan lebih kuat dalam menghadapi rintangan dan persoalan, serta lebih cepat dalam mencapai tujuan.
Masalahnya, justru sering kita membawa keinginan pribadi. Kita enggan hidup dalam semangat kebersamaan itu. Kita cenderung dengan cara halus atau kasar, memaksakan kehendak kita untuk orang lain penuhi. Maka kalau sudah demikian, jangan heran betapa akan rapuhnya kita. Belajarlah pada kawanan angsa itu.

"Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik."

Kiriman dari Lie Ferriando A

Kisah sebungkus kue



Seorang wanita sedang menunggu di bandara suatu malam. Masih ada beberapa jam sebelum jadwal terbangnya tiba. Untuk membuang waktu, Ia membeli buku dan sekantong kue di toko bandara, lalu menemukan tempat untuk duduk. Sambil duduk wanita itu membaca buku yang baru saja dibelinya. Dalam keasyikannya , ia melihat lelaki disebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua dari kue yang berada diantara mereka. Wanita tersebut mencoba mengabaikan agar tidak terjadi keributan. Ia membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si Pencuri Kue yang pemberani menghabiskan persediaannya. Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu. Wanita itupun sempat berpikir: “Kalau aku bukan orang baik sudah kutonjok dia!”. Setiap ia mengambil satu kue, Si lelaki juga mengambil satu. Ketika hanya satu kue tersisa, ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan lelaki itu.

Dengan senyum tawa di wajahnya dan tawa gugup, Si lelaki mengambil kue terakhir dan membaginya dua. Si lelaki menawarkan separo miliknya sementara ia makan yang separonya lagi. Si wanita pun merebut kue itu dan berpikir : “Ya ampun orang ini berani sekali, dan ia juga kasar malah ia tidak kelihatan berterima kasih”. Belum pernah rasanya ia begitu kesal. Ia menghela napas lega saat penerbangannya diumumkan. Ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang. Menolak untuk menoleh pada si “Pencuri tak tahu terima kasih”. Ia naik pesawat dan duduk di kursinya, lalu mencari bukunya, yang hampir selesai dibacanya. Saat ia merogoh tasnya, ia menahan nafas dengan kaget. Disitu ada kantong kuenya, di depan matanya !!! Koq milikku ada disini erangnya dengan patah hati. Jadi kue tadi adalah milik lelaki itu dan ia mencoba berbagi. Terlambat untuk minta maaf, ia tersandar sedih. Bahwa sesungguhnya dialah yang kasar, tak tahu terima kasih, dan dialah pencuri kue itu !

Dalam hidup ini kisah pencuri kue seperti tadi sering terjadi. Kita sering berprasangka dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri serta tak jarang kita berprasangka buruk terhadapnya. Orang lainlah yang selalu salah, Orang lainlah yang patut disingkirkan, Orang lainlah yang tak tahu diri, Orang lainlah yang berdosa, Orang lainlah yang selalu bikin masalah, Orang lainlah yang pantas diberi pelajaran.

Kiriman dari Teddy A.

Wilma rudolph



Wilma Rudolph, lahir dari keluarga yg sangat miskin 23 Juni 1940, di-Tennesee, USA. Anak ke-20 dari 22 bersaudara. Ayahnya hanya seorang porter KA / kuli angkut barang & ibunya hanya tukang masak & cuci baju tetangga. Hidup mereka benar2 miskin.

Saat usia 4 tahun, ia menderita radang paru2 & demam tinggi yg menyebabkan kakinya lumpuh karena polio. Orgtuanya tak mampu membeli obat karena waktu itu Amerika masih ada rasiaiisme yg membuat org2 kulit hitam mendapatkan perlakuan buruk dlm kesehatan & pendidikan. Akhirnya, la harus menggunakan kruk/penyangga & dokter menyatakan bahwa kakinya akan lumpuh selamanya. Tetapi ibunya terus berdoa pd TUHAN & memberi keyakinan pd Wilma bahwa ia pasti normal kembali. Di-saat yg buruk, kakinya yg lumpuh semakin mengecil & hanya terjuntai ke-bawah tak bereaksi apapun. Namun Wilma terus mengucapkan kata2 iman & berkata "Aku akan menjadi wanita tercepat di-dunia di-lintasan lari." & ia terus mencoba berdiri, walau sdh ribuan kali ia mencoba & jatuh. Ia tak menyerah.

Pada usia 9 tahun, ia nekat melanggar nasehat dokter & membuang tongkatnya & melakukan langkah pertama yg menurut dokter2 takkan pernah dapat dilakukannya. Selama 3 tahun ia terus mencoba melangkah, berjalan & berlari. Pada usia 13 tahun ia mengikuti lomba lari pertama kalinya & menjadi peserta satu2nya yg berkaki tak sempurna. Ia kalah. Tapi Wilma terus melaju. Ia terus bertanding di-ratusan lomba & mengalami ratusan kekalahan. Hingga suatu hari ia berhasil menang lomba lari dlm satu kejuaraan Provinsi yg membuatnya berhasil meraih beasiswa di-Tennesee State University & mempertemukannya dgn seorang pelatih atletik bernama Ed Temple.

Wilma berkata pd Ed "Saya ingin menjadi wanita tercepat di-lintasan atletik dunia." Dibawah bimbingan Ed, Wilma terus berlatih siang malam, mengatasi berbagai rintangan, bertanding dalam ratusan lomba & terus melaju hingga akhirnya Sejarah mencatat, pada Olimpiade tahun 1960, Wilma Glodean Rudolph, Seorang wanita kulit hitam pertama yg pernah menderita polio & lumpuh, akhirnya menjadi juara Olimpiade & memenangkan 3 medali emas di-lintasan lari 100 meter, 200 meter & estafet 400 meter & menjadi wanita tercepatdi-dunia di-lintasan lari.

Sumber : Renungan Harian

Pita kuning



Pada tahun 1971 surat kabar New York Post menulis kisah nyata tentang seorang pria yang hidup di sebuah kota kecil di White Oak, Georgia, Amerika. Pria ini menikahi seorang wanita yang cantik dan baik, sayangnya dia tidak pernah menghargai istrinya. Dia tidak menjadi seorang suami dan ayah yang baik. Dia sering pulang malam-malam dalam keadaan mabuk, lalu memukuli anak dan isterinya.

Satu malam dia memutuskan untuk mengadu nasib ke kota besar, New York.
Dia mencuri uang tabungan isterinya, lalu dia naik bis menuju ke utara, ke kota besar, ke kehidupan yang baru. Bersama-sama beberapa temannya dia memulai bisnis baru. Untuk beberapa saat dia menikmati hidupnya. Sex, gambling, drug. Dia menikmati semuanya.

Bulan berlalu. Tahun berlalu. Bisnisnya gagal, dan ia mulai kekurangan uang. Lalu dia mulai terlibat dalam perbuatan kriminal. Ia menulis cek palsu dan menggunakannya untuk menipu uang orang. Akhirnya pada suatu saat naas, dia tertangkap. Polisi menjebloskannya ke dalam penjara, dan pengadilan menghukum dia tiga tahun penjara.

Menjelang akhir masa penjaranya, dia mulai merindukan rumahnya. Dia merindukan istrinya. Dia rindu keluarganya. Akhirnya dia memutuskan untuk menulis surat kepada istrinya, untuk menceritakan betapa menyesalnya dia. Bahwa dia masih mencintai isteri dan anak-anaknya.
Dia berharap dia masih boleh kembali. Namun dia juga mengerti bahwa mungkin sekarang sudah terlambat, oleh karena itu ia mengakhiri suratnya dengan menulis, "Sayang, engkau tidak perlu menunggu aku. Namun jika engkau masih ada perasaan padaku, maukah kau nyatakan? Jika kau masih mau aku kembali padamu, ikatkanlah sehelai pita kuning bagiku, pada satu-satunya pohon beringin yang berada di pusat kota. Apabila aku lewat dan tidak menemukan sehelai pita kuning, tidak apa-apa. Aku akan tahu dan mengerti. Aku tidak akan turun dari bis, dan akan terus menuju Miami. Dan aku berjanji aku tidak akan pernah lagi menganggu engkau dan anak-anak seumur hidupku."

Akhirnya hari pelepasannya tiba. Dia sangat gelisah. Dia tidak menerima surat balasan dari isterinya. Dia tidak tahu apakah isterinya menerima suratnya atau sekalipun dia membaca suratnya, apakah dia mau mengampuninya? Dia naik bis menuju Miami, Florida, yang melewati kampung halamannya, White Oak. Dia sangat sangat gugup. Seisi bis mendengar ceritanya, dan mereka meminta kepada sopir bus itu, "Tolong, pas lewat White Oak, jalan pelan-pelan...kita mesti lihat apa yang akan terjadi..."

Hatinya berdebar-debar saat bis mendekati pusat kota White Oak. Dia tidak berani mengangkat kepalanya. Keringat dingin mengucur deras. Akhirnya dia melihat pohon itu. Air mata menetas di matanya...

Dia tidak melihat sehelai pita kuning...

Tidak ada sehelai pita kuning....

Tidak ada sehelai......

Melainkan ada seratus helai pita-pita kuning....bergantungan di pohon beringin itu...Ooh...seluruh pohon itu dipenuhi pita kuning...!!!!!!!!!!!!

Kisah nyata ini menjadi lagu hits nomor satu pada tahun 1973 di Amerika.Sang sopir langsung menelpon surat kabar dan menceritakan kisah ini.Seorang penulis lagu menuliskan kisah ini menjadi lagu, "Tie a Yellow Ribbon Around the Old Oak Tree", dan ketika album ini di-rilis pada bulan Februari 1973, langsung menjadi hits pada bulan April 1973. Sebuah lagu yang manis, namun mungkin masih jauh lebih manis jika kita bisa melakukan apa yang ditorehkan lagu tersebut,...\

If God always forgive you,.. will you forgive the others ? .. think wisely .. !!!. Dan memaafkan juga tidak akan membuat kita rugi karena justru kita akan mendapat berkat.

Kiriman dari Yohana Lina Susanti.