Sabtu, 09 Oktober 2010

Menimbang doa


Bertahun-tahun silam, tak lama setelah perang dunia I , ada sebuah pedagang makanan yang mencoba menimbang sebuah doa.

Pada hari Minggu sebelum Natal, ada seorang wanita yang datang ke tokonya dan meminta bahan makanan agar dapat memasak makanan bagi anak-anaknya pada malam Natal.

Si pemilik toko bertanya kepadanya berapa banyak uang yang dimilikinya.Wanita itu menjawab, "Suamiku tewas dalam perang, saya tidak punya apa-apa untuk diberikan kecuali doa."

Si pedagang bahan makanan menjawab dengan ketus, " Tuliskan doa itu. " dan melanjutkan urusannya.Yang membuatnya terkejut, wanita tersebut mengeluarkan secarik kertas dari dompetnya dan menyodorkannya kepadanya.

" Aku melakukannya kemarin malam seraya menjaga bayiku yang sakit. " kata wanita tersebut.

Si pedagang dengan kasar mengambil kertas tersebut dan menaruhnya di sisi pemberat timbangan kunonya.Ia berkata, " Aku akan memberimu bahan pangan seberat bobot doa ini."

Betapa terperajatnya dia, tatkala ia menaruh sepotong roti di sisi lain dari timbangan tersebut, timbangan itu tidak bergerak sedikitpun.Tercengang, ia menambahkan sebongkah keju, lalu seekor kalkun, namun timbangan itu tetap sama tak bergeming.

Akhirnya karena ia sudah menaruh begitu banyak bahan pangan ke timbangan tersebut, timbangan tersebut sudah tidak dapat memuat apa-apa lagi.

Ia menyodorkan sebuah kantong kepada wanita itu dan berkata. " Anda harus memasukkannya sendiri ke dalam kantong itu."

Barulah setelah wanita itu pergi dengan air mata sukacita mengalir di wajahnya, ia mendapati bahwa timbangannya rusak tepat di saat dia menaruh kertas doa wanita tersebut di situ.

Untuk pertamakalinya ia menunduk untuk membaca apa yang di tulis wanita tersebut : " TOLONG TUHAN. BERIKAN KAMI PADA HARI INI MAKANAN KAMI YANG SECUKUPNYA."

kEKUATAN DOA SANGGUP UNTUK MELAKUKAN SESUATU YANG LUAR BIASA DAN MENGERJAKAN PERKARA-PERKARA YANG MUSTAHIL.

JANGAN PERNAH MENYERAH DALAM PERGUMULANMU KARENA MUJIZAT PASTI SEGERA DATANG.

Sent by Doa Jala.

Hadiah dari Wendy


Anak perempuan ini berumur enam tahun ketika saya pertama kali menemuinya di tepi pantai dekat tempat tinggal saya. Pantai ini berjarak sekitar empat mil dari rumah saya. Dia sedang membuat sesuatu seperti istana pasir dan kemudian melihat saya, matanya biru seperti laut."Hai", katanya. Saya menjawab acuh tak acuh, hati saya sedang tidak enak dan tidak mau diganggu oleh seorang anak kecil."Aku sedang membangun," katanya."Saya tahu. Apa itu ?" saya bertanya sekedarnya, tidak peduli."Oh, tidak tahu, aku cuma senang main pasir." Kelihatannya baik, saya berpikir, kemudian melepaskan sepatu saya. Seekor burung laut terbang melintas."Itu kebahagiaan" katanya."Itu apa?" tanya saya."Itu kebahagiaan. Mama berkata burung laut membawa kebahagiaan untuk kita" katanya dengan mata berbinar menatap burung laut yang terbang menjauhi pantai."Selamat tinggal kebahagiaan," saya bergumam kepada diri sendiri, "Halo kepedihan," dansaya berbalik untuk meneruskan perjalanan.

Saya sedang depresi, hidup saya kelihatannya benar-benar kacau dan berantakan."Siapa namamu?" anak itu tidak menyerah sambil dengan langkah kecil mengikuti saya."Robert," saya menjawab. "Saya Robert Peterson.""Namaku Wendy, aku berumur enam tahun," sahutnya sambil menatapku dengan mata birunya. Mata itu begitu bulat dan indah."Hai, Wendy" sapaku dengan agak tertegun melihatnya... Gadis kecil ini begitu mempesona..Dia tertawa geli. "Kamu lucu," katanya. Dengan mengabaikan perasaan saya, saya ikut tertawa dan kemudian berjalan pergi. Irama tertawa geli anak itu mengikuti saya."Datang lagi ya, Pak Peter" dia memanggil. "Kita masih punya hari menyenangkan yang lain."

Hari dan minggu-minggu berikutnya bukan milik saya: sekelompok anak yang tidak dapat diatur, pertemuan orang-tua dan guru, ibu yang sakit. Matahari bersinar cerah ketika suatu pagi saya sedang mencuci tangan."Saya butuh burung laut", saya berkata kepada diri sendiri, sambil mengambil jaket.Suasana pantai sedang menunggu. Angin terasa dingin, tapi saya terus melanjutkan, mencoba untuk memperoleh kedamaian yang saya butuhkan. Saya sudah melupakan anak kecil itu dan terkejut ketika menjumpai dia."Halo pak Peter," dia berkata."Mau main ?" tanyanya lagi."Kamu mau main apa sih ?" saya berkata dengan sedikit terganggu."Aku tidak tahu? Terserah." sahutnya."Bagaimana kalau kita main pura-pura?" saya bertanya dengan kasar. Suara tertawa terdengar lagi."Aku tak tahu apa itu." katanya."Kalau begitu kita jalan saja." Sambil memandangnya, saya mengenali wajah lembutnya yang tulus."Kamu tinggal dimana?" saya bertanya."Di sana." Dia menunjuk ke barisan cottage untuk musim panas di depan. Aneh, saya berpikir, ini musim dingin."Kamu sekolah dimana?" tanya saya semakin penasaran."Aku tidak sekolah. Mama bilang kita sedang liburan" sahutnya dengan senyum manis.

Dia berceloteh seperti layaknya seorang anak perempuan kecil sepanjang perjalanan menyusuri pantai, tapi saya sedang memikirkan hal yang lain. Wendy berkata bahwa ia menikmati hari menyenangkan. Aneh, sekarang saya merasa lebih baik, saya tersenyum padanya dan menyetujuinya.Tiga minggu berikut, saya terburu-buru pergi ke pantai dalam keadaan yang boleh dibilang panik. Saya sama sekali sedang tidak 'in the mood' sekalipun hanya untuk memberi salam kepada Wendy.

"Lihat, kalau kamu tidak berkeberatan," saya berkata dengan gusar ketika Wendy menangkap tangan saya, "Saya ingin sendirian hari ini." Dia kelihatannya lebih pucat dari biasanya dan tampak kelelahan."Kenapa ?" dia bertanya. Saya berbalik kepadanya dan berteriak, "Karena ibu saya meninggal !!!" dan saya tersentak sendiri, ya Tuhan, kenapa saya berkata seperti ini kepada seorang anak kecil ?"Oh," dia berkata perlahan, "Kalau begitu ini hari buruk.""Ya," kata saya, "Dan kemarin dan kemarin lagi dan, ah ... semuanya sudah berlalu!" kelu saya."Apa kamu sedih?" anak ini terus bertanya."Sedih?" saya kecewa terhadapnya dan terhadap diri saya sendiri."Kapan dia meninggal ?" tanya Wendy."Tentu saja itu menyedihkan !!!!" saya berseru, salah mengerti, perasaan saya campur aduk dalam diri saya. Saya pergi meninggalkannya begitu saja.

Satu bulan setelah itu, ketika saya datang lagi ke pantai itu, Wendy, anak perempuan kecil itu tidak ada di sana. Dengan merasa bersalah, malu dan harus mengakui bahwa sebenarnya saya kehilangan dia, saya pergi ke cottage. Setelah berjalan beberapa saat saya tiba di sana dan mengetuk pintu. Seorang wanita muda yang menarik perhatian dengan rambut berwarna kuning-madu membuka pintu.

"Halo," saya berkata. "Saya Robert Peterson. Saya kehilangan anak perempuan kecilmu dan ingin tahu dimana dia sekarang.""Oh ya, Pak Peterson, silahkan masuk. Wendy banyak bercerita tentang dirimu. Saya khawatir kalau saya telah membiarkannya mengganggumu. Kalau dia telah mengganggu, terimalah permohonan maaf saya.""Tidak juga - dia anak yang menyenangkan," saya berkata, tiba-tiba saya menyadari bahwa benarlah demikian adanya. Wendy gadis kecil yang menyenangkan."Dimana dia?" tanya saya setelah menyadari ketidak beradaan Wendy."Wendy meninggal minggu lalu, Pak Peterson. Dia menderita leukemia. Mungkin dia belum memberitahu anda." Seperti dipukul, saya segera mencari pegangan pada kursi. Napas saya seperti berhenti, jantung saya serasa berhenti berdetak."Dia suka sekali pantai ini; maka ketika dia meminta untuk datang ke tempat ini, kami tidak dapat menolaknya. Dia kelihatannya menjadi lebih baik disini dan mempunyai banyak hari yang disebutnya sebagai hari menyenangkan. Tetapi minggu-minggu terakhir, kondisinya menurun dengan cepat?" suaranya wanita muda itu melemah,"Dia meninggalkan sesuatu untukmu. Kalau saja saya dapat menemukannya. Dapatkah anda menunggu sebentar sementara saya mencari?". Saya mengangguk, pikiran saya bekerja keras mencari sesuatu, apa saja, untuk diucapkan kepada wanita muda terkasih ini.

Dia memberikan saya sebuah amplop agak kotor, dengan tulisan tebal Pak Peter, tulisan anak-anak. Didalamnya ada sebuah gambar dibuat dari krayon cerah - gambar satu pantai bewarna kuning, laut biru, dan seekor burung coklat. Dibawahnya tertulis dengan rapi : BURUNG LAUT MEMBAWA KEBAHAGIAAN UNTUK KAMU. Mata saya terasa basah, dan satu bagian hati yang hampir terlupakan selama ini terbuka lebar untuk mengasihi. Saya menggenggam tengan ibu Wendy.

"Saya sangat menyesal, saya menyesal, saya menyesal, " saya menggumamkannya berkali-kali dan kami menangis bersama. Gambar kecil yang sangat berharga itu sekarang diberi bingkai dan digantung di kamar belajar saya. Enam kata - satu untuk setiap tahun kehidupannya - telah berbicara kepada saya tentang harmoni, kekuatan, kasih yang tidak menuntut. Hadiah dari seorang anak kecil dengan mata biru dan rambut pasir telah mengajar saya arti pemberian kasih.

LORD JESUS, bless you and me, now and forever.

By: Robert Petterson 
ditulis ulang oleh Lisa F.

Arsitek Mozaik kehidupan


Seorang arsitek memesan lembaran cermin besar untuk ia pasang pada dinding istana kerajaan Teheran, Iran.

Hanya sayang, pesanan itu datang didapati bahwa cermin itu sudah pecah dan hancur, mungkin karena perjalanan yang cukup jauh.

Sang kontraktor mengusulkan untuk membuangnya dan memesan kembali.

Herannya, sang arsitek justru meminta kepingan cermin itu dikumpulkan lalu dihancurkan lagi menjadi kepingan-kepingan yang lebih kecil lalu mulai disusunlah satu persatu.

Di tangan arsitek itu, pecahan-pecahan cermin kecil itu menjadi karya mosaik yang terindah di dunia.

Dihancurkan untuk menjadi lebih indah!

Kira-kira seperti itulah pujian raja Teheran kepada sang arsitek.

Sebuah keputusan yang tidak masuk akal dilakukan sang arsitek, namun hasil yang ia dapatkan membuat dunia mengagumi karyanya.

Bagi kita, hidup adalah suatu tantangan yang harus dihadapi.

Ada kalanya kita terjatuh, terpuruk, bahkan lembaran hidup dan jati diri kita terkadang hancur berkeping-keping.

Tentu ini membuat hidup terasa semakin berat.

Rasa putus asa seakan menjadi teman akrab yang selalu berkunjung seiring masalah hadir. Lalu dimanakah Tuhan saat kita sedang hancur berkeping-keping?

Kita juga kadang-kadang meragukan keberadaan Tuhan ketika harus bergumul dengan masalah.

Apalagi ketika kegagalan terjadi.

Apalagi ketika hal yang buruk terjadi dan meninggalkan trauma tersendiri.

Pengkhianatan. Luka hati yang semakin mengoyak. Itu tak jauh beda dengan cermin yang hancur berkeping-keping.

Namun bersyukur karena Tuhan adalah arsitek yang luar biasa.

Ia mengambil kepingan demi kepingan hidup kita.

Dari yang tak berarti dibuatnya menjadi berarti.

Dari yang rusak menjadi sesuatu yang indah.

Luka hati disembuhkan.

Bayang-bayang masa lalu yang menakutkan diganti menjadi masa depan yang penuh harapan.

Pemulihan terjadi.

Karya indah terjadi di dalam hidup kita. Semuanya itu dikerjakan oleh Tuhan, Sang Arsitek kehidupan!

Di tangan Sang Arsitek Kehidupan, hidup yang hancur berkeping-keping bisa diubah menjadi karya yang indah.


Sent by Yohana lina susanti.

Iman Maria


Maria kecil yang berusia sepuluh tahun tinggal di sebuah desa pinggiran kota di Chili tengah. Ketika ibunya menginggal, Maria menjadi ibu rumah tangga, merawat ayahnya yang bekerja giliran malam di sebuah pertambangan lokal. Maria memasak, membersihkan rumah, dan memastikan bahwa makanan ayahnya sudah siap saat ia meninggalkan rumah untuk bekerja setiap malam.

Maria mengasihi ayahnya dan khawatir melihat betapa ia menjadi begitu sedih sejak kematian ibunya. Maria pergi ke gereja setiap m,inggu dan merusaha mengajak ayahnya untuk pergi bersamanya, tetapi ia menolak. Hatinya terlalu kosong.

Suatu malam, sementara Maria menyiapkan makanan untuk ayahnya, ia menyelipkan sebuah Injil kecil ke kotak makanannya. Ia mendapat Injil kecil itu dari seorang pekerja misionari yang membagikannya dari rumah ke rumah di daerah mereka. Maria berdoa agar ayahnya membacanya dan memperoleh penghiburan seperti yang telah Maria temukan dalam kasih Allah yang besar.

Pada pukul 01.10 pagi Maria tiba-tiba terbangun karena suara yang mengerikan, peluit darurat di pertambangan itu meraung dalam kegelapan, memanggil para penduduk kota untuk segera datang dengan cangkul dan tangan yang siap untuk membantu menggali para penambang yang terjebak di gua bawah tanah.

Maria berlari ke tambang untuk mencari ayahnya. Beberapa orang dengan panik menggali reruntuhan terowongan yang ambruk dan mengurung delapan orang. Salah satunya adalah ayah Maria.

Para petugas darurat bekerja sepanjang malam dan akhirnya berhasil menembus sebuah gua kecil dimana mereka menemukan para penambang itu. Sungguh sayang, mereka sudah terlambat. Ke delapan pria itu telah meninggal karena tidak bisa bernafas.

Para petugas penyelamat itu sangat menyesal, tetapi saat mereka mengamati keadaan, mereka melihat bahwa para penambang itu meninggal dalam posisi duduk membentuk lingkaran. Saat para petugas melihat lebih dekat, mereka menemukan bahwa ayah Maria duduk dengan sebuah Injil kecil di pangkuannya yang terbuka pada halamam terakhir di mana rencana keselamatan dijelaskan secara gamblang. Pada halaman itu, ayah Maria menuliskan sebuah pesan khusus untuk putrinya:

"Maria yang terkasih, saat kau baca pesan ini, Ayah sudah berada bersama ibumu di surga. Ayah membaca buku kecil ini, kemudian membacakannya beberapa kali kepada orang-orang ini sementara kami menunggu diselamatkan. Harapan kami akan hidup ini memudar, tetapi tidak demikian dengan hidup yang akan datang. Kami melakukan apa yang diajarkan dalam buku ini dan berdoa, meminta Yesus masuk ke dalam hati kami. Ayah sangat menyayangimu, Maria, dan suatu hari kelak, kita semua akan bersama-sama di surga.

From Book, "Heart for a friend", Dick eastman.

Semut dan Softlens


Brenda adalah seorang gadis muda yang diajak mendaki tebing oleh teman-temannya. Walau sebenarnya ia takut melakukannya, ia memutuskan untuk tetap pergi bersama mereka mendaki sebuah tebing granit yang curam.

Di luar rasa takutnya itu, ia memasang perlengkapannya, berpegang pada tambang dan kemudian memulai pendakian. Akhirnya ia sampai pada suatu pijakan di mana ia bisa menarik nafas sejenak. Tetapi di saat ia tengah berhenti, secara tidak sengaja matanya terbentur tali pengaman yang terikat di tubuhnya sehingga membuat soft-lensnya terlepas. Ia tengah di suatu pijakan tebing yang berada ratusan meter di atas tanah dan ratusan meter pula tebing di atasnya yang masih harus didaki.

Ia melihat dan melihat sekelilingnya, sambil berharap dapat menemukan soft-lensnya yg terlepas itu, tapi ternyata ia tdk dapat menemukannya. Ia berada jauh dari rumah dan penglihatannya sekarang buram. Ia putus asa dan mulai merasa gelisah, kemudian ia mulai berdoa kapada Tuhan agar menolongnya menemukan soft-lens itu.

Ketika ia sampai di puncak tebing, temannya membantu mencari dengan memeriksa bajunya dengan harapan dapat menemukannya, tetapi soft-lens itu tetap tidak dapat ditemukan. Ia duduk dgn perasaan yang hilang pengharapan, beristirahat dengan sebagian rombongan sambil menunggu rombongan lainnya.

Sambil termenung, Brenda melihat gunung-gunung di sekitarnya, tiba-tiba teringat olehnya sepotong bagian dari ayat Alkitab yang tertulis, "mata Tuhan menjelajah seluruh bumi" (II Tawarikh 16:9). Ia kemudian berdoa di dalam hatinya, "Tuhan, Engkau dapat melihat semua gunung-gunung. Engkau juga mengetahui setiap daun dan batu yang ada di gunung ini, dan Engkaupun tahu dengan pasti di mana soft-lensku berada. Ya Tuhan, tolonglah aku."

Akhirnya mereka turun ke bawah melalui jalan yang kecil. Sesampainya di bawah, mereka bertemu dengan rombongan lain yang baru mau memulai pendakian. Tiba-tiba seorang dari mereka berteriak, "Halo teman, adakah di antara kalian yang kehilangan soft-lens?"

Tentu saja hal ini cukup mengejutkan, tetapi tahukah anda bagaimana pendaki itu menemukannya?

Pendaki itu melihat seekor semut kecil sedang bergerak secara perlahan di permukaan tebing sambil membawa sebuah soft-lens.

Ketika bercerita kepada ayahnya mengenai kejadian luar biasa tentang seekor semut, doa dan soft-lensnya yang hilang, ayahnya kemudian menggambar sebuah kartun tentang seekor semut memikul sebuah soft-lens dengan tulisan : "Tuhan, aku tidak tahu mengapa Engkau menginginkan aku untuk membawa benda ini. Saya tidak dapat memakannnya dan benda ini sangatlah berat. Tetapi bila itu memang kehendakMu, aku akan membawakannya untukMu."

Tuhan Yesus telah merendahkan diriNya dan rela menderita menanggung semua beban dosa kita. Biarlah kita juga belajar merendahkan diri, sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa dan satu tujuan.

Adakalanya dalam keadaan yang sukar, kita dapat belajar untuk berseru, "Tuhan, saya tidak mengerti mengapa Engkau menginginkan saya memikul beban ini. Saya tidak melihat ada hal yang berguna di dalamnya dan beban ini sangatlah berat. Tetapi kalau ini adalah kehendakMu, saya akan melakukannya."

Janganlah meminta pelayanan sesuai kekuatan kita, tetapi mintalah kekuatan sesuai dengan pelayanan kita.

"Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." Filipil 4:13.

Sent by Hizkia J.